BOGOR – Seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi dan sistem budidaya, tantangan yang dirasakan dalam produksi komoditas udang pun dirasa semakin meningkat. Mulai dari isu ketersediaan induk bebas penyakit, kualitas sarana produksi tambak (saprotam) yang terjangkau dan berkualitas baik, merebaknya penyakit yang ditengarai sebagai Early Mortality Syndrome (EMS), hingga isu di luar teknis budidaya seperti akses pendanaan serta konservasi lingkungan area budidaya.
Sebagai upaya menghimpun informasi perkembangan terkini kegiatan budidaya khususnya udang di berbagai wilayah, YSAI menginisiasi pembentukan forum diskusi dengan beberapa lembaga yang bergerak di bidang tersebut diantaranya Konservasi Indonesia (Koin), Aceh Aquaculture Cooperatives (AAC), Komunitas Pemerhati Udang Windu (Kontinu), Kelompok Masyarakat Pesisir Indramayu (Kompi), serta beberapa perwakilan individu yang secara aktif melakukan upaya upaya perbaikan perikanan budidaya di daerahnya. Kegiatan dari masing-maisng lembaga bertempat mulai dari Aceh, Indramayu, Sidoarjo, Sulawesi Selatan serta Kalimantan Utara dan Kalimantan Barat.
Dari Tana Tidung, Kalimantan Utara, Rudi menyampaikan bahwa koperasi yang dibentuk bersama timnyasaat ini mengelola lahan tambak seluas 40 hektar untuk pengembangan udang windu. Hingga saat ini, perizinan AMDAL telah selesai dan petambak sebagai pengelola lahan telah mengikuti training di Vietnam dalam penerapan better management practices. Perusahaan cold processing sebagai penampung hasil panen tersedia di sekitar lokasi, total 15 perusahaan berstatus PMA dan PMDN. Kendala yang dialami di lapangan saat ini ialah keterbatasan lahan efektif yang tersedia disebabkan lahan yang dikelola saat ini berbentuk tidak beraturan. Rudi dan tim berharap apabila terdapat investor yang tertarik untuk bekerjasama, kolam existing akan di desain ulang, mengacu kepada sistem yang telah diperkenalan oleh WWF, sehingga proses produksi dan pengelolaan SDM dapat lebih efektif.
AAC yang berlokasi di Aceh telah secara aktif membantu small – scale farmer melalui tiga program utama ; technical support, agro – input credit, dan akses pasar. Disampaikan oleh Ardian, direktur AAC, bahwa di wilayah barat Aceh mengalami peningkatan jumlah tambak udang yang sangat pesat. Sebagai upaya mendorong pengelolaan kegiatan budidaya yang berkelanjutan, selain membantu melalui program utamanya, tim AAC melakukan edukasi pada petambak mengenai pentingnya penerapan SOP budidaya yang baik, termasuk diantaranya perlunya kolam IPAL untuk menekan risiko penyebaran penyakit.
Pinrang merupakan lokasi yang tenar oleh komoditas windu. Sebagai komunitas yang aktif dalam pengembangan budidaya udang di lokasi tersebut, Kontinu hingga saat ini masih terus melakukan pengembangan probiotik Rica dan pakan alami Pronima SP (zooplankton endemic Pinrang). Di samping itu, tim Kontinu saat ini dalam proses membangun kawasan udang windu seluas 100 hektar dengan konsep Eco Shrimp. Salah satu tantangan utama dalam pengembangan kawasan tersebut ialah mengenai isu ketersediaan benih windu, yang ketersediaannya terbatas sebab mayoritas petambak telah beralih ke vannamei. Kontinu serta produsen udang windu lain berharap bahwa pemerintah dapat memberi perhatian khususnya isu kelangkaan benih udang jenis ini, mengingat potensi pasar yang baik didukung oleh harga jual saat ini yang relative lebih tinggi dibandingkan dengan white leg shrimp.
Sementara itu dari Indramayu, Makrus sebagai perwakilan Kompi menyatakan bahwa saat ini petambak di daerah sedang mengalami keterpurukan akibat lahan tambak yang sudah tidak mendukung kegiatan budidaya, petambak mengalami kesulitan menumbuhkan dan mengelola plankton. Oleh karena ketidakpastian hasil, cukup banyak petambak yang berganti profesi sebagai nelayan. Mengatasi hal tersebut, Makrus dan timnya melakukan riset untuk mencari solusi. Dari hasil diskusi dan penelitian yang dilakukan, tim Kompi mengembangkan produk pakan cair, berlabel Damai, yang berfungsi mendorong pertumbuhan pakan alami zooplankton. Selain vanamei, Makrus menyatakan produk tersebut dapat juga diaplikasikan pada kolam budidaya komoditas windu, bandeng, serta nila. Tim Kompi masih akan mengembangkan produk Damai tersebut sehingga dapat bekerja lebih optimal lagi.
Disampaikan oleh Nanang, sebagai salah satu tokoh yang mendukung kegiatan budidaya udang di Kalimantan Barat, menyampikan bahwa pengembangan industri udang di daerahnya mengalami kendala terkait dengan program pemerintah daerah yang menitikberatkan pada sawit. Hal demikian wajar ditemui di Indonesia yang menganut otonomi daerah, dimana pola kebijakan menyesuaikan dengan kepentingan maupun interest dari pemegang kebijakan. Hal tersebut berdampak pada sentra – sentra budidaya udang terhambat untuk beroperasi, beberapa diantaranya disebabkan oleh tingginya endapan lumpur di sungai yang dihasilkan saat clearing sawit, ataupun tingkat salinitas yang menurun drastis hingga tawar, serta kandungan zat besi yang berada diatas ambang batas.
Koin merupakan organisasi yang memfokuskan kegiatannya pada perbaikan lingkungan dalam rangka mendukung budidaya yang berkelanjutan. Melihat tinggisnya risiko kegagalan budidaya, terutama di wilayahnya, yang disebabkan oleh faktor eksternal seperti curah hujan tinggi yang berpotensi pada penurunan drastic level salinitas, dan sebagainya Koin menjalin kerjasama dengan BMKG sebagai upaya menekan risiko gagal panen akibat hal tersebut. Koin dan BMKG membentuk sistem update harian pada petambak yang menyajikan informasi curah hujan, suhu, dan potensi banjir. Petambak menerima informasi tersebut melalui ponsel setiap hari dalam waktu yang disepakati, sehingga dapat melakukan persiapan lebih baik menghadapi factor eksternal yang dapat menimbulkan resiko dalam proses produksi. Diskusi yang telah berjalan kurang lebih selama tiga jam diakhiri dengan kesepakatan untuk melakukan diskusi serupa secara rutin. Kedepannya, YSAI berharap untuk dapat membantu memfasilitasi partner dalam mengatasi kendala yang dihadapi, melalui fasilitasi dan koordinasi dengan pihak relevan baik dengan pihak pemerintah maupun swasta.