Kabupaten Pinrang adalah salah satu Daerah Tingkat II di Provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. yang memiliki luas wilayah 1.961,77 km² dengan jumlah penduduk sebanyak ± 351.118 jiwa dengan tingkat kepadatan penduduk mencapai 171 jiwa/km2. Kabupaten Pinrang terletak pada Koordinat antara 43°10’30” – 30°19’13” Lintang Utara dan 119°26’30” – 119°47’20” Bujur Timur. Jarak tempuh dari Makassar Ibukota Provinsi ke Kabupaten Pinrang ± 173 km. Wilayah Kabupaten Pinrang terbagi dalam 12 Kecamatan dimana 6 kecamatan merupakan daerah pesisir. Dari data Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pinrang tahun 2016 total luas tambak adalah 15.675 ha tersebar di 6 kecamatan, yaitu Suppa (2.203 ha), Lasinrang (1.560 ha), Mattirosompe (4.131 ha), Cempa (2.341 ha), Duampanua (5.101 ha), dan Lembang (339 ha). Komoditi unggulan di tambak adalah rumput laut, bandeng, udang windu dan udang vanamei. Untuk udang windu produksi tahun 2018 tercatat sebesar 2.874,6 ton.
Pada tahun 2016 YSAI sempat mengadakan training untuk 500 petambak di Pinrang. Tema yang di usung adalah Pengaturan Kawasan untuk peningkatan dan keberlanjutan produksi udang. Training dilaksanakan di Desa Jampue dan Kelurahan Larinsang, Kec. Larinsang. Desa Kasiee, Kec. Suppa. Kelurahan Data dan Desa Paria, Kec. Duampanua. Desa Mattombong dan Desa Langa, Kec. Mattirosompe, Hampir 5 tahun training tersebut dilaksanakan. Sehingga sangat senang sekali di awal Maret 2021 YSAI dapat berkunjung kembali ke Pinrang untuk mengetahui perkembangan terbaru budidaya udang windu sekaligus memenuhi undangan PT. Atina (salah satu pemilik label Ecoshrimp di Indonesia) yang ingin meminta saran dari YSAI agar produktivitas petambak binaan dapat lebih ditingkatkan lagi.
PT Atina sudah beroperasi di Pinrang sejak tahun 2007. Produk yang diambil khusus udang windu organik. Khusus Pinrang jumlah udang windu organik yang diserap tahun 2020 sebesar 300 ton. Untuk menjaga kualitas udang organik PT Atina bekerjasama dengan 7 Pengumpul besar dan 24 pengumpul kecil. Pengumpul tersebut mempunyai kewajiban untuk memonitor petambak agar budidaya udang windu yang dilakukan oleh petambak sesuai dengan SOP yang dikeluarkan oleh PT. ATINA. Petambak harus tergabung dalam kelompok kelompok binaan untuk memudahkan pengawasan. Jumlah petambak yang tergabung dalam binaan 993 petambak dengan luasan total 2883 ha. Menurut pengakuan PT Atina, 70% produksi tambak binaan mampu diserap. Dari diskusi YSAI dan PT Atina terungkap bahwa produktivitas rata-rata petambak dalam menghasilkan udang windu masih sangat rendah yaitu 150 kg/ha/tahun. Selain berdiskusi dengan PT. ATINA, YSAI juga melakukan diskusi dengan Dinas Perikanan Kab Pinrang, Pemerintah Kecamatan Lansinrang, Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Sulawesi Selatan, Bupati Kabupaten Takalar, dan Balai Besar Budidaya Air Payau Takalar.
Permasalahan Benur.
Dari hasil pengamatan YSAI dilapangan, terlihat bahwa petambak pendederan tidak mengaplikasikan standar pemeliharaan benur yang baik. Hal tersebut tampak dari desain kolam pendederan yang dangkal, penggunaan pakan yang sudah kadaluarsa dan pengunaan air yang tidak steril sehingga benur rentan tertular penyakit. Disamping itu cara panen benur pendederan yang lama menyebabkan penebaran benur pendederan ditambak terjadi pada siang hari. Petambak pendederan ternyata menggunakan benur PL kecil (dibawah PL 9) yang dipelihara dalam kisaran 3-7 hari di kolam pendederan. Hasilnya tentu saja tidak jauh berbeda dengan produksi benur PL 15 yang di hasilkan oleh Hatcheri biasa. Di samping itu petambak juga sempat mengalami kesulitan untuk mendapatkan benur windu disebabkan sedikitnya Hatchery yang memproduksi benur windu. Banyak hatchery windu yang tutup dan beralih memproduksi benur udang vaname.
Untuk mengatasi masalah kualitas dan kelangkaan benur YSAI dan PT. ATINA mengunjungi BBAP Takalar. Dalam pertemuan tersebut YSAI dan PT ATINA mendorong BBAP Takalar untuk dapat memproduksi benur windu secara kontinyu. PT ATINA sendiri akan merekomendasikan kepada petambak binaannya agar membeli benur dari BBAP karena kualitas benur yang dihasilkan sangat baik. Kita juga mendorong BBAP Takalar untuk memanfaatkan lahan yang dimilikinya di Pinrang dijadikan lokasi pendederan sehingga menjadi lokasi percontohan bagi petambak yang mempunyai usaha pendederan.
Kontruksi Tambak.
Hampir semua tambak tradisional mempunyai kedalaman yang dangkal. Hal tersebut membuat suhu air ditambak tidak stabil. Di siang hari panas dan malam hari sangat dingin. Pemasukan air juga bergantung dari pasang surut. Sehingga tidak menghasilkan ketinggian air yang ideal. Tentu saja ini sangat berpengaruh terhadap SR udang. Salah satu cara untuk menambah ketinggian air tambak adalah dengan penggunaan pompa. Petambak juga sangat jarang mengangkat lumpur sehabis panen yang mengakibatkan menumpuknya bahan organic di dasar tambak. Kelangkaan tenaga kerja menjadi hal utama tidak terangkutnya lumpur di dasar tambak. Dalam pertemuan dengan Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Pinrang, beliau mengungkapkan bahwa Pemerintah daerah mempunyai Excavator yang dapat digunakan petambak untuk mengangkat lumpur atau kegiatan renovasi tambak. Penggunaan excavator lebih irit biaya dan hemat waktu apabila dibandingkan dengan menggunakan tenaga manusia. Walaupun demikian masih banyak petambak yang tidak memanfaatkannya dikarenakan minimnya pengetahuan petambak tentang bahaya lumpur yang tidak diangkat terhadap budidya udang.
Permasalahan Muara dan Mangrove.
Permasalahan lain yang YSAI temukan di lapangan adalah pendangkalan di muara sungai. Hal ini mengakibatkan tidak lancarnya air masuk dan keluar dari tambak. Pemerintah daerah tidak mempunyai wewenang untuk merenovasi muara karena menjadi wewenang Pemerintah Pusat. Petambak dan pemerintah daerah sangat mendorong agar pemerintah pusat segera merenovasi muara sungai sehingga dapat meningkatkan produktivitas tambak.
Selain permasalahan muara sungai yang dangkal dilokasi tambak juga jarang ditemukan mangrove. Keberadaan mangorove dalam ekosistem perairan sangatlah penting karena mempunyai kemampuan dalam menyerap bahan organic. Hal tersebut sudah mulai disadari oleh petambak dan pemerintah kecamatan. Oleh karenanya pemrintah sangat mendorong agar dilakukan penanaman mangrove di sepanjang aliran sungai. PT. ATINA sendiri sudah menyiapkan 5000 bibit yang dapat ditanam oleh petambak. Rencana nya program penanaman mangrove tersebut selesai tahun ini.
Phronima sp sebagai pakan alami udang windu
Budidaya udang windu organic/tradisonal sangat mengandalkan ketersediaan pakan alami. Salah satu pakan alami yang ada adalah phronima sp yang di klaim sebagai zooplankton endemic kec Supa kab Pinrang. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Prof. Hattah Fattah diketahui bahwa benur yang memakan phonima lebih cepat tumbuh dibandingkan benur yang memakan artemia.
BBAT Takalar dalam diskusi dengan YSAI mengungkapkan bahwa mereka saat ini sedang melakukan penelitian tentang Phronima. Umumnya Phronima sp berkembang biak secara maksimal dilahan tanah berpasir. Apabila telah ditemukan cara kultur massal di tambak diharapkan mampu meningkatkan produksi udang windu organic.
Ambisi Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan terhadap udang windu
Sebagai salah satu provinsi dengan luas tambak tradisional terluas di Indonesia Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan ingin meningkatkan produktivitas tambak yang ada. Gubernur mentargetkan produktivitas tambak udang windu bisa mencapai 500 kg/ha/siklus. Bukan hal yang mudah mencapainya mengingat produktivitas yang ada saat ini baru mencapai 100 kg/ha/siklus. Untuk memujudkan hal tersebut Pemerintah provinsi akan menggarap proyek percontohan 1000 ha di kab Pinrang. Dalam pertemuan Dinas Kelautan dan Perikanan Prov Sulsel dengan YSAI dan PT Atina pemerintah provinsi akan melakukan berbagai kegiatan agar target tercapai seperti pemberian benur kepada petambak, penerjunan penyuluh perikanan ke tambak, mengintensifkan pengembangan pakan phronima di tambak, dan pengembangan aplikasi smartphone untuk budidaya udang.
Niat baik ini tentu patut di dukung mengingat masih terbuka lebar nya pasar udang windu organic di pasar internasional. PT ATINA sendiri sebagai eksportir udang seringkali harus menolak permintaan konsumen dikarenakan keterbatasan pasokan udang windu organic dari petambak. YSAI sebagai organisasi nirlaba yang concern dengan budidaya udang yang berkelanjutan berkomitmen untuk membantu dengan sumber daya yang dimilikinya.