IPAL Minimalis untuk Tambak Udang sebagai Solusi Praktis Pengolahan Limbah Tambak

Bekerja sama dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan, JAPFA, dan Yayasan Sustain Aqua Indonesia, Forum Udang Indonesia menyelenggarakan seri webinar dengan tema ” IPAL Minimalis untuk Tambak Udang sebagai Solusi Praktis Pengolahan Limbah Tambak ” pada tanggal 24 Agustus 2021.

Dr. TB. Haeru Rahayu, A.Pi, M.Sc, yang saat ini menjadi Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyampaikan materi pertama webinar, berjudul “IPAL Tambak Udang Solusi Praktis Pengelolaan Limbah Tambak.” Dr. Haeru memaparkan tiga strategi KKP untuk budidaya udang, khususnya solusi dalam mengolah limbah tambak udang. Strategi pertama adalah dengan meningkatkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari sektor perikanan tangkap yang akan menguntungkan peningkatan kesejahteraan nelayan. Selanjutnya adalah pengembangan budidaya untuk menggenjot ekspor dengan mendapatkan dukungan dari data hasil penelitian kelautan dan perikanan. Terakhir, mengembangkan kampung-kampung budidaya air tawar, air payau, dan laut berdasarkan kearifan lokal. Hal ini dapat dilakukan dengan mengadopsi praktik kearifan lokal seperti yang ada di Pasaman, Gunung Kidul, dan daerah lain di Indonesia.
Namun, dalam diskusi forum webinar ini, efisiensi dan efektivitas IPAL menjadi perhatian Forum Udang Indonesia karena ternyata IPAL membutuhkan luas sekitar 30% atau bahkan 40% berdasarkan data dari 100 kolam. Permasalahan IPAL ini harus diperbaiki terlebih dahulu sehingga petani udang dapat mengelola kolam mereka secara efektif.-

Dr. Haeru menjelaskan secara singkat mengapa udang merupakan komoditas kedua unggulan di sektor perikanan saat ini. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) terkait nilai pasar produk perikanan global, volume produksi udang adalah 239.230 ton atau bila diuangkan sama dengan USD 2.040.070 diikuti oleh lobster di tempat ketujuh, dan rumput laut di posisi ke-11. Beliau juga menjelaskan bahwa KKP saat ini sedang mengembangkan dashboard untuk data perikanan berdasarkan data yang bersumber dari internal BPS dan KKP dengan harapan 80-90% akurasi dapat dapat tercapai pada tahun depan.

Meskipun ada beberapa versi data perikanan, namun pada umumnya tidak berbeda nyata. Misalnya, total luas kolam tambak adalah 804.000 hektar, 68% (546.732 ha) adalah tambak udang, sedangkan 32% diperuntukkan untuk budidaya ikan bandeng dan komoditas lainnya. Para petambak udang memiliki 90% dari 546.732 ha klam tambak tersebut. Namun, 50% dari kolam tambak tersebut dikategorikan sebagai kolam idols atau yang tidak termanfaatkan , dan hanya 55,35% yang aktif. Kolam tambak semi-intensif yang saat ini aktif adalah 95%, sementara yang tidak aktif 5%, sedangkan untuk kolam tambak intensif, 97% merupakan kolam aktif dan yang tidak aktif sebesar 3%.
Dalam dua tahun terakhir, total luas tambak udangintensif, semi intensif, dan tradisional adalah 300.000 ha, dimana kolam intensif menghasilkan 30 ton / ha /tahun,kolam semi-intensif 10 ton / ha /tahun,dan kolam tradisional 0,6 ton / ha /tahun. Melihat kondisi saat ini, diperlukan program revitalisasi tambak udang tradisional menjadi sistem intensif dalam upaya meningkatkan produktivitas produksi dari 0,6 ton per hektar menjadi 2 ton /ha untuk memenuhi target produksi udang pada tahun 2024. Program revitalisasi yang diusulkan dilakukan dengan melakukan intervensi di lapangan, misalnya dukungan kincir angin, bimbingan teknis, dll.

Dr. Haeru juga memaparkan bahwa ada lima strategi untuk meningkatkan produksi udang nasional: (1) Memetakan area untuk pengembangan udang potensial; (2). Peningkatan teknologi dalam hal efektivitas dan efisiensi; (3). Menyederhanakan dukungan proses perizinan; (4). Sinergi antar pemangku kepentingan untuk memperoleh informasi perikanan udang yang lebih faktual; dan (5). Penemuan yang ramah lingkungan dan pengelolaan yang berkelanjutan.

Presentasi Dr. Haeru ditutup dengan penjelasan mengenai bagaimana pengelolaan limbah IPAL dan teknologi yang terkait dengan IPAL sangat efisien seperti tidak memerlukan tempat yang luas juga murah, secara teknologi mudah dikuasai / ramah ke pengguna dan tidak memiliki dampak lingkungan.
Materi kedua webinar dengan judul “IPAL Minimalis Tambak Udang Solusi Praktis Pengelolaan Limbah Tambak Udang” disampaikan oleh Bapak Itang Hidayat yang saat ini menjabat sebagai Aquaculture Technology and Development di PT STP JAPFA Aquaculture.

Pak Itang membawakan presentasinya dalam beberapa bagian. Pertama adalah tentang latar belakang konsep IPAL minimalis untuk tambak udang, yang dapat menjadi solusi praktis untuk pengolahan limbah di tambak udang. Budidaya udang merupakan kegiatan ekonomi berkelanjutan yang sejalan dengan meningkatnya pemenuhan kebutuhan protein hewani dunia. Dengan adanya program dari KKP untuk meningkatkan produksi udang di Indonesia, kegiatan ini mau tidak mau akan menghasilkan limbah dan efek samping berupa limbah cair dan padat selama produksi. Limbah tambak udang memiliki karakteristik tidak memiliki konsentrasi polutan yang tinggi tetapi melibatkan volume air yang besar. Nilai konsentrasi polutan juga dipengaruhi oleh usia budidaya, kepadatan, dan stoking sistem budidaya, yang dapat tradisional, semi intensif, super intensif, atau konstruksi. Air kolam, seperti yang kita semua tahu, adalah bahan limbah mentah. Masalah nutrisi air sering muncul karena retensi nutrisi di kolam hanya 22%, dan rata-rata 78% nitrogen dan 90% fosfor terbuang dari kolam. Polusi nutrisi adalah polutan utama yang berasal dari IPAL.

Di bagian kedua presentasinya, Pak Itang membahas dampat pembuangan limbah cair dan padat dari tambak udang langsung ke lingkungan sekitar tanpa melalui proses pengolahan sebelumnya, yang dapat mengakibatkan:
• Pergeseran dominasi sistem alami photoautograph (plankton sebagai produsen primer laut) oleh sistem organotroph bakteria karena kelimpahan bahan organic dalam air laut dengan indikasi naiknya konsentrasi bahan organic dan turunnya ORP;
• Perluasan zona pendangkalan di muara sungai dan perairan pesisir;
• Pembentukan lapisan anoksia (rendah oksigen) dan euxinia (tinggi sulfida) di laut;
• Pembentukan lapisan biofilm vibrio parahaemolyticus (vp) di sedimen, pada rotasi daur hidup siklus alaminya (saat terjadi upwelling di laut), koloni vp terdispersi dalam air laut dan melakukan penempelan Kembali di substrat lain seperti pada plankton, pasir filter air, udang, ikan, kerrang, atau rumput laut.
• Koloni bakteri Vibrio parahaemolyticus berupa biofilm memiliki resistensi yang tinggi terhadap antibiotic, probiotik dan disinfektan
• 70% tokisn PirA & PirB VPAMPNO terdeteksi di sludge/lumpur dan 30% di air dan substrat lainnya seperti krustasea liar.

Pada bagian ketiga presentasi, Pak Itang membahas tujuan utama untuk keberhasilan IPAL minimalis. Tujuannya adalah untuk menjaga limbah padat (suspensi dan lumpur) supaya tidak keluar dari tambak udang, baik limbah padat dari pembuangan air limbah maupun pembuangan limbah harian dari kegiatan budidaya. Pengadaan sistem pengolahan limbah yang komplit dengan standar IPAL sesuai SNI di tambak udang masih menjadi bahan pertimbangan bagi para petambak karena keterbatasan lahan, kesanggupan finansial, dan tingkat kompleksitas teknologi desain instalasi pabrik pengolahan air limbah yang digunakan.

Sistem desain dasar IPAL untuk budidaya udang harus mengikuti peraturan dari KKP dan KLHK. Juga, desain harus mengikuti asumsi jenis limbah dan konsentrasi polutan, peralatan dan energi yang tersedia, ketersediaan lahan, biaya, metode pengolahan, dan tujuan pengolahan, apakah itu harus dibuang atau didaur ulang.

Prinsip dasar pengolahan IPAL adalah mengolah bahan organik menjadi bentuk molekul sederhana yang tidak mencemari atau bersifat polutan dari karbohidrat, protein, lemak, dan senyawa lain yang ditemukan dalam pakan. Pengolahan limbah dapat dilakukan secara fisik, biologis, atau kimia.
Instalasi pengolahan air limbah minimalis untuk tambak udang menggunakan kombinasi tiga sistem pengolahan limbah secara biologis: aerated lagoon, SBR (sequencing batch reactor), dan kolam fakultatif aerobik-anaerobik, di mana nitrifikasi dan denitrifikasi terjadi secara bersamaan dalam satu kolam IPAL. Ketiga proses tersebut dikombinasikan secara simultan dengan memanfaatkan lahan yang ada, perawatan mudah, serta biaya operasional yang rendah.

Pada pemaparan selanjutnya, Pak Itang menjelaskan bagaimana menghitung dimensi kolam IPAL minimalis, dengan rasio optimal 5% dari total volume air kolam budidaya. IPAL minimalis dapat digunakan bersama dengan sistem sentral atau modular. Sebagai contoh, jika hamparan kolam terdiri dari 100 kolam budidaya dengan ukuran kolam seragam maka dapat menggunakan IPAL modular, dengan 1 unit IPAL minimalis dipasang di setiap 20 kolam budidaya.

Desain dan scenario pengoperasian IPAL minimalis seperti yang telah dijelaskan di atas mengakomodasi kebutuhan petmbak untuk pengadaan IPAL paling sederhana dengan biaya operasional terendah. Terutama dalam pengoperasian aerator guna menekan biaya operasional dengan sistem SR aerobik-anaerobik di mana aerator tidak dioperasikan selama 24 jam dan satu-satunya jenis aerator yang digunakan adalah kincir air.

Namun, jika petambak rela mengeluarkan biaya lebih untuk meningkatkan kualitas air buangan limbah tambak udangnya atau kualitas effluent/air buangan masih belum optimal dapat menerapkan tambahan kolam aerasi/biofiltrasi/disinfeksi dengan tambahan luasan 20% dari luas IPALminimalis yang ada. Maka modifikasi IPAL minimalis dapat berupa:
• Variasi 1: Kolam IPAL minimalis dengan kolam biofiltrasi aerob;
• Variasi 2: Kolam IPAL minimalis full aerasi dengan kolam biofiltrasi/disinfeksi
Kunci keberhasilan pengoperasian IPAL minimalis adalah pengeluaran lumpur secara rutin dari central drain IPAL minimalis ke kolam drying bed sehingga tidak ada deposit lumpur di kolam IPAL minimalis tersisa, hanya limbah cair saja. Prioritas penghapusan lumpur diatur dalam PERMEN-KP nomor 75 tahun 2016. Lumpur kering yang telah dikeringkan dan dikomposkan dapat digunakan sebagai pupuk organik di bidang pertanian sebelum mengalokasikan dana dan sumber daya untuk mengembangkan IPAL yang kompleks dan komprehensif. Paling tidak pada tahap awal petambak dapat menerapkan IPALyang minimalis untuk menjaga kelestarian lingkungan sekitar dan kesinambungan budidaya tambaknya. Meminimalkan resiko dan kerugian yang diakibatkan oleh aktifitas pembuangan air limbah tambak udang yang tanpa pengolahan terlebih dahulu ke lingkungan perairan sekitar tambak udang. Dari dua variasi IPAL minimalis yang ada, petambak dapat memilih variasi IPAL yang lebih sesuai dengan kemampuan dana dan sumberdayanya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *