FUI (Forum Udang Indonesia) telah menyelenggarakan webinar series I pada 23 November 2021 yang bertajuk “SOP Budidaya Udang Vaname yang Berkelanjutan”. Pelaksanaan webinar ini turut didukung oleh KKP, UNIDO, dan YSAI. Fokus pembahasan dan diskusi pada seri pertama ini mengenai prosedur operasional pada persiapan pra produksi dalam budidaya udang Vaname dengan pembicara Prof Sukenda selaku praktisi dan Akademisi IPB serta pembahas oleh bapak Hardi Pitoyo selaku ketua harian SCI (Shrimp Club Indonesia).
Webinar sesi I ini dihadiri oleh beragam stakeholder dengan jangkauan yang luas seperti para akademisi, mahasiswa, para petambak yang telah lama berkecimpung di dunia budidaya udang, penyuluh perikanan di berbagai daerah, dsb dengan jumlah lebih dari 200 orang peserta webinar. Output dari webinar ini diharapkan Prosedur operasional budidaya udang Vaname yang telah disusun dapat menjadi referensi dan menjembatani para stakeholder memberikan kritik dan saran terkait penyusunan SOP udang Vaname yang berkelanjutan.
Prof Sukenda selaku pembicara pertama memaparkan mengenai prosedur operasional budidaya udang Vaname yang telah dibuat atas kerja sama UNIDO (United Nations Industrial Development Organization), KKP, dan FUI yang didanai oleh pemerintah Swiss. Dalam penysuunannya, prosedur operasional budidaya dibagi dalam 14 chapter yaitu legalitas usaha tambak udang, pemilihan lokasi tata letak dan kontruksi tambak, persiapan tambak, pemasukan air, pemilihan dan penebaran benur, manajemen dasar tambak dan kualitas air, manajemen pakan, manajemen sampling, manajemen kesehatan udang dan lingkungan, penanganan panen dan pasca panen, manajemen biosekuritas, manajemen keamanan pangan, aspek sosial dan ekonomi, dan dokumentasi serta tracebility. Namun untuk sesi I dibatasi hingga pemilihan dan penebaran benur.
Aspek legalitas menjadi hal wajib yang harus dimiliki setiap wirausaha tidak terkecuali pembudidaya. Petambak diwajibkan untuk memiliki izin usaha dan izin operasional tambak. Izin yang terkait terangkum dalam 11 izin yaitu izin peruntukan penggunaan tanah (IPPT), NIB, IMB untuk kantor, mess, dsb hingga izin penampungan BBM dan RKK dari ditjen PRL (kabel pipa bawah laut). Pemerintah juga sedang mencoba untuk meringkas perizinan usaha agar mempermudah petambak dalam mengurus legalitas usahanya. Informasi perizinan di setiap daerah bisa ditanyakan ke pelayanan satu pintu
Prof Sukenda menjelaskan bagian kedua dalam prosedur operasional yaitu pemilihan lokasi, bagaimana tata letak dan kontruksi tambak yang akan dibangun. Beberapa faktor generik yang perlu dipertimbangkan dalam memilih kelayakan lokasi yang akan dijadikan tambak adalah ekologi, biologi dan operasional, sosial ekonomi, dan perizinan. Untuk bahan pertimbangan dari segi ekologinya, lokasi tambak sebaiknya memiliki area green belt berupa hutan mangrove di antara pantai dan tambak. Dalam SOP yang disusun, pemilihan lokasi berpedoman pada PerMen KKP no 75 tahun 2016.
Faktor pertimbangan lokasi dapat dilakukan dengan pengumpulan data sekunder yang berkaitan dengan potensi lahan, karakteristik hidro-oceanografi, iklim, sosial ekonomi, dan peraturan yang berlaku. Selanjutnya dapat dilakukan survei lokasi lahan, survei vegetasi, dan survei air. Tidak lupa kemudahan aksesibilitas lokasi untuk menunjang budidaya. Prof Sukenda menekankan bahwa critical point dalam pemilihan lokasi ini yaitu lokasi sesuai dengan rencana tata ruang wilayah pemerintah daerah. Contohnya zonasi mana yang menjadi area budidaya, mana yang menjadi area mangrove, atau area yang dijadikan area rekreasi.
Setelah pra survei dan survei dilaksanakan selanjutnya dilakukan evaluasi dengan pemberian nilai (scoring and weighting). Penilaian terkait tekstur tanah masih dapat diatasi dengan penerapan teknologi terkait misalnya dengan memadatkan lapisan tanah dengan ekskavator atau penambahan liner HDPE, plastik mulsa, pada tambak.
Pertimbangan utama dalam penentuan desain tata letak tambak yaitu faktor ekonomi, fungsional, dan estetikanya. Faktor ekonomi terkait juga dengan nilai investasi dalam pembuatan tambak dan menjadi batasan dalam penentuan bentuk kolam, kapasitas tambak, serta sarana dan prasarana pendukung budidaya. Prof Sukenda menekankan bahwa kawasan tambak harus dibatasi oleh barier berupa pematang atau saluran yang berfungsi juga sebagai biofilter dan biosekuriti dan tambak juga harus dilengkapi dengan tandon pengolahan air masuk dan tandon pengolahan limbah (IPAL).
Petak tandon ukurannya minimal 30% dari luas petak budidaya dengan desainnya menyesuaikan kualitas sumber air dan sistem budidaya yang digunakan (terkait densitas). petak tandon digunakan untuk proses sedimentasi sebelum masuk ke petak pengolahan limbah dan proses treatment untuk air yang akan digunakan. Sedangkan untuk petak budidaya harus kedap air dan meminimalisir perembesan dengan luas umumnya 0,25-0,5 ha.
Chapter selanjutnya mengenai persiapan tambak meliputi pengangkatan bahan organik pasca panen dengan pengangkatan lumpur, pembersihan petak budidaya, pengapuran tanah dasar disertai dengan pemupukan dasar tanah, pengisian air dan sterilisasi air, dan tahap terakhir yaitu pemupukan air untuk menumbuhkan fitoplankton dan bakteri probiotik. Prof Sukenda juga memberikan penjelasan mengenai perbedaan kondisi tambak juga berpengaruh terhadap treatment yang diberikan dalam proses persiapan tambak berbeda. Misalnya jika suatu petak tambak sebelumnya memiliki riwayat penyakit WSSV maka dapat diberikan juga treatment penambahan HCl 100 ppm yang disemprotkan di permukaan tambak.
Setelah tambak siap untuk digunakan, maka tahap selanjutnya adalah pemasukan air. Air diproses di petak tandon terlebih dahulu lalu diukur parameter kualitas air (salinitas, TSS, fosfat, BOD, dsb) lalu dialirkan ke petak budidaya. selanjutnya air diberikan treatment dengan pemberian klorin lalu tiga hari selanjutnya diberikan pestisida organik (saponin dan kupri sulfat) agar membunuh hama dan bahan antimikroba. Setelah air siap lalu dilakukan pemupukan dengan fermentasi dedak, aktivasi bakteri Bacillus sp., dolomite, dan pupuk ZA.
Tebar benur dilakukan 14 hari setelah sterilisasi terakhir. Benur udang sebaiknya dipilih yang telah bersertifikat bebas WSSV, TSV, IMNV, AHPND, EHP dan secara visual memiliki ukuran yang seragam. Yang perlu diperhatikan saat penebaran benur yaitu aklimatisasi karena perbedaan suhu 1 derajat celcius berbeda terutama jika lebih tinggi maka berpengaruh pada laju metabolisme benur 10-15% dan ini akan memicu meningkatnya stres benur. Sebelum dilakukan penebaran, dilakukan cek acak sebagai sampel untuk menghitung benur yang ditebar apakah sudah sesuai pesanan.
Setelah pemaparan terkait materi prosedur operasional selesai, pembahas yang pertama yaitu bapak Hardi Pitoyo dari SCI (Shrimp Club Indonesia) memberikan beberapa saran guna menyempurnakan standar operasional yang telah dibuat. Yang pertama yaitu terkait urutan chapter dalam prosedur operasional dimana pemilihan lokasi, desain dan tata letak menjadi yang pertama dilakukan lalu selanjutnya legalitas usaha karena saat mengurus perizinan pasti akan diminta syarat desain dan jenis usaha budidayanya. Selanjutnya berkaitan dengan persiapan tambak sebaiknya dibuat lebih terperinci dimana jenis tambak (tambak beton, semi HDPE, full HDPE, ataupun tanah) akan memiliki perlakuan yang berbeda pula. Contohnya saat pengeringan, tambak dengan kolam tanah akan memiliki waktu yang lebih lama dibandingkan dengan kolam HDPE.
Bapak Hardi Pitoyo juga menambahkan terkait tandon. Dalam pemaparan materi petak tandon sebaiknya fungsinya lebih ditekankan lagi karena keberadaan tandon ini sifatnya tidak wajib bagi lokasi yang sumber airnya masih sangat baik. Beliau menekankan bahwa tandon berfungsi untuk mejamin kecukupan air secara kualitas dan kuantitas dan tidak boleh ada dinamika fisik, kimia, maupun biologi di dalamnya atau dalam artian kualitas air stabil dan sesuai dengan parameter fisika, kimia, biologi yang diinginkan. Terakhir beliau menambahkan terkait pembentukan air. Pemupukan perlu ditekankan kembali fungsinya yaitu untuk memunculkan plankton. Jumlah, jenis, dan frekuensi pemupukan akan menghasilkan jenis plankton yang tentunya berbeda. Perlu dijelaskan lebih detail jenis plankton yang ditumbuhkan dan yang dibutuhkan apa saja.
Pembahas kedua yaitu Bambang widigdo selaku dosen IPB, mengingatkan kembali terkait keamanan dan biosekuriti produk dan lingkungan. Ke depan, konsumen luar negeri sangat peduli dengan lingkungan budidaya. Beliau menekankan petambak harus menjaga agar tidak mencemari lingkungan di setiap tahapan budidaya. Indonesia mulai memberlakukan dimana tambak harus dibuat di atas kawasan mangrove (kawasan supratidal) bukan di intertidal (daerah pasang surut) terutama untuk tambak intensif. Beliau menuturkan untuk tambak yang sudah tidak terpakai sebaiknya ditanam mangrove kembali. Terkait dengan keamanan pangan, petambak tidak memakai bahan terlarang misalnya antibiotik.
Pembahas ketiga yaitu bapak Agus Apung Budiman yang membahas terkait tanggung jawab sosial. Di lapangan masih banyak ditemukan kasus dimana masyarakat menjual tanahnya sampai ke bibir pantai sehingga hal itu merugikan investor.
Saat sesi diskusi, beliau menambahkan terkait dichlorophos dari golongan organo phospat. Dengan dosis 3 ppm efektif sebagai crustacide namun pada tahun 2010 dilarang secara nasional untuk pertanian secara umum meskipun dalam perikanan tidak menghasilkan residu. Masukan penggunaan dischlorophos sebagai crustacide dalam persiapan tambak akan jauh lebih efektif dan biaya lebih murah.