Seminar IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah) pada budidaya udang vaname di Probolinggo telah diadakan pada 29 Maret 2022. Pembicara pada seminar kali ini berasal dari IPB University yaitu Dr. Kukuh Nirmala, expert di bidang kimia fisika perairan, dan Dr. Yuni Puji Astuti, expert pada mikrobiologi perairan.
Dr. Kukuh Nirmala selaku pembicara pertama mengawali dengan memberikan penjelasan detail mengenai dinamika bakteri dan plankton dalam tambak budidaya. Keberagaman plankton dalam budidaya itu sangat penting. Namun, degradasi kualitas air budidaya terjadi seiring dengan berjalannya pemeliharaan udang. Degradasi kualitas air ini dapat menyebabkan merebaknya penyakit. Contohnya penyakit Myo, penyakit ini dipicu oleh tingginya kadar nitrit dalam air budidaya yang menyebabkan udang stres karena tebentuknya methaemocyanin sehingga darah tidak mampu mengikat oksigen meskipun DO perairan tinggi.
Penyakit AHPND ini akan muncul jika plankton dalam perairan budidaya crash. Crash diartikan Blue Green Algae (BGA) mati dan BGA akan menghasilkan senyawa toksin yang menyerang hepatopankreas udang. BGA yang tinggi di perairan ditandai dengan banyaknya ubur-ubur yang berada di sekitar pesisir. Selain BGA, jenis algae yang berbahaya lainnya yaitu jenis dinoflagellata dan prymnesium. Dr. Yuni Puji Astuti menambahkan populasi plankton juga dipengaruhi oleh musim. Pada musim hujan, cyanobakter juga meningkat.
Dalam 1 hektar tambak udang akan menghasilkan 15.000 ton air limbah, 1.4 ton bahan organik dari sisa pakan dan feses, dan 2.6 ton amoniak. Limbah budidaya tersebut harus diolah terlebih dahulu sebelum dilepas ke perairan. Berdasarkan penelitian terkait di beberapa kawasan jika dilihat dari pola arus permukaan, air laut hanya berputar di sekitar pesisir saja. Jika limbah tidak diolah maka air limbah tersebut dapat kembali lagi ke tambak dan menimbulkan berbagai penyakit.
Efek lain yang ditimbulkan tentunya akan mengubah rasio C:N:P perairan. Perubahan rasio C:N:P dalam perairan ini akan mengubah keberagaman plankton di dalamnya yang akan menyebabkan perubahan stratifikasi bakteri. Perubahan bakteri spesifik di dalam suatu lingkungan perairan akan menyebabkan perubahan plankton yang tumbuh di dalamnya. Selain perubahan rasio C:N:P dampak lainnya adalah sedimentasi/ pendangkalan di pesisir, dekomposisi DO (dead zone/ anaerobik) dan blooming plankton.
Dr. Kukuh Nirmala mengusulkan agar limbah hasil budidaya dapat dimanfaatkan langsung sebagai pupuk organik tentu dengan proses pengenceran terlebih dahulu. Penelitian mengenai hortikultura menjelaskan rasa manis dalam buah dapat dipengaruhi oleh mineral tanah. Penelitian lainnya juga menunjukkan bahwa pemberian air dengan salinitas tertentu pada hewan ternak akan berdampak baik bagi pertumbuhan, hewan ternak relatif tahan penyakit, dan rasa daging lebih enak. Alternatif pemanfaatan limbah budidaya lainnya yaitu dilakukan biokonversi produk bernilai ekonomi, contohnya teripang dan kerang dara.
Untuk mendukung budidaya udang yang berkelanjutan penerapan IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah) harus dilakukan dengan memahami prinsip kerja IPAL terlebih dahulu. Prinsipnya yaitu sedimentasi, adsorbsi, dan filtrasi. Sedimentasi menjadi treatment pertama dan diperlukan untuk mengolah partikel bahan organik sisa pakan dan feses. Treatment kimiawi dapat dilakukan dengan proses oksigenasi, netralisasi, koagulasi-flokulasi dengan cara pengapuran dan alum treatment sehingga akan terbentuk flok dan mereduksi TDS, kadar pH dan oksigen akan naik. Sedangkan treatment biologi dilakukan dengan metode bioremediasi, fitoremediasi, dan bio-fitoremediasi.
Di dalam IPAL terjadi daur biogeokimia yang menjadi tempat berkumpulnya limbah organik maupun anorganik dan jalur energi bakteri dominan heterotrof dan kemoheterotrof. Luasan IPAL yang digunakan bergantung pada metode budidaya yang dilakukan. Berdasarkan standar FAO, untuk metode intensif sebanyak 10-20% air limbah tambak masuk menuju IPAL (750m2), 5-10% air limbah tambak (375m2) untuk metode semi intensif, dan 185m2 atau <5% air limbah tambak menuju IPAL (185m2) untuk metode tradisional.
Ada dua variasi IPAL yang direkomendasikan oleh Dr Yuni Puji Astuti, yang pertama yaitu dengan 4 tahapan dalam IPAL meliputi petak sedimentasi berbentuk sludge reactor, petak filtrasi, petak aerobik dan anaerobik remediasi, dan petak desinfeksi. Catatan untuk petak aerobik, diperhatikan pemberian jenis bio-bacterial maupun penambahan enzim yang diberikan agar proses remediasi berjalan optimal. Variasi IPAL kedua yaitu round mini IPAL dimana IPAL berbentuk corong terbalik dengan drain sludge. Variasi kedua ini cocok untuk budidaya udang skala cluster.
Contoh desain IPAL yang telah diterapkan yaitu pada tambak udang di BRPBAP Takalar dimana desain petak IPAL terbagi menjadi 3 bagian yaitu kolam sedimentasi, petak aerobik, dan, petak maturase dengan prinsip yang sama seperti yang telah dijelaskan tadi. Di Indonesia, baku mutu air limbah hasil budidaya masih belum ditetapkan. Ini menjadi catatan penting sehingga ke depannya diharapkan sudah ada agar terdapat standarisasi kualitas air limbah hasil budidaya yang akan dilepas di perairan guna menunjang budidaya udang yang berkelanjutan.