Seri Webinar Forum Udang Indonesia. Bincang Udang 2: Perhatikan Genetik, Bisnis Udang Semakin Menarik

Minapoli menyelenggarakan webinar sesi 2 pada 22 Maret 2022 yang bertemakan peran genetik dalam mendukung peningkatan produksi udang nasional bekerjasama dengan Forum Udang Indonesia (FUI) dan Forum Komunikasi Pembenih Udang Indonesia (FKPUI).

Bapak Agus Wibowo selaku ketua umum FUI menuturkan FUI mendukung program pemerintah dalam peningkatan ekspor udang sebanyak 250% (USD 4.25 M) pada tahun 2024. Dalam mencapai target tersebutdiperlukan pertumbuhan volume ekspor 15% dannilai ekspor 20%  per tahunnya. Namun pada tahun 2021, pertumbuhan ekspor udang melambat hanya 10%. Untuk itu, perlu adanya perbaikan dari hulu hingga hilir,salah satunya yaitu perbaikan induk dan benur udang sehingga dapat meningkatkan produktivitas budidaya udang.

Agus Somamihardja selaku ketua Forum Komunikasi Pembenih Udang Indonesia (FKPUI) mengapresiasi dengan mulainya keterlibatan hatchery dan produsen induk dalam diskusi holistik dalam budidaya udang. Perkembangan riset genetik pada induk udang tidak hanya mengenai fenotif saja melainkan telah berada di tahap genomik sehingga kita dapat merekayasa genetik udang sesuai dengan kebutuhan. Prospek ke depannya, induk udang yang diinginkan tidak hanya dicari yang lebih cepat tumbuh namun juga dapat survive di kondisi ekstrem misalnya tahan terhadap penyakit.

Pemateri dalam webinar ini berasal dari dua perusahaan breeding udang ternama di Indonesia. Pemateri pertama disampaikan oleh bapak Purnomo Hadi, country manager  PT SyAqua Indonesia. SyAqua Indonesia merupakan perusahaan yang berfokus pada pemuliaan genetik udang, pengembangan genetik induk udang (balanced line/ genetic selection), dan pakan untuk naupli (early stage shrimp). Beliau menuturkan perbaikan genetik udang masih concern pada pertumbuhan dan kelulushidupan (survival rate) yang tinggi. Sejak tahun 2013 telah dilakukan riset mengenai resistensi udang terhadap EMS/AHPND dengan metode seleksi namun pada pertumbuhannya tidak maksimal. Oleh karena itu, pihaknya sedang mengupayakan agar pertumbuhan dapat ditingkatkan kembali.

Beliau menekankan, pengembangan hatchery udang tidak hanya mengenai performa genetik induk udangnya saja, fenotif atau interaksi lingkungan (pakan, kualitas air) juga berperan sangat penting pada ekspresi gen. Pakan induk di Indonesia masih mengandalkan cacing laut (polichaeta) tangkapan dari alam sehingga kadar nutrisi di dalamnya tidak konsisten, hal ini akan berdampak pada profimax (produktivitas naupili yang dihasilkan per 100 induk betina) menjadi lebih rendah dibandingkan negara lain.

Beliau juga memberikan tips terkait bagaimana mengetahui benur udang yang dibeli apakah pertumbuhannya tinggi atau lambat yaitu dengan melihat average daily growth (ADG)nya, jika nilai ADG >0.4 dapat dikatakan pertumbuhan benurnya baik. selain itu, melalui pendekatan uji lab rasio DNA/RNA benur. Jika rasio DNA lebih tinggi dapat diasumsikan benur tersebut pertumbuhannya lambat.

Pemateri kedua yaitu bapak Teddy Pietter, manager BMC (Broodstock Multiplication Center) produksi di PT Kona Bay Indonesia. Produk induk dari PT Kona Bay dibagi menjadi 3 yaitu speed line yaitu pertumbuhan yang baik dengan target marketnya untuk lingkungan budidaya yang bagus dengan kategori zona penyakit rendah (hijau), strength line (ketahanan yang baik terhadap TSV, EMS, WSSV, dan vibrio sp) dimana lingkungan budidaya berada pada kategori zona penyakit kategori tinggi (merah), dan balanced line (pertumbuhan dan ketahanan yang baik) dimana produk ini yang dijual di Indonesia.

Materi yang diberikan memberikan gambaran mengenai tantangan dalam industri udang secara global dimana untuk mengantisipasinya dapat dilakukan dengan pengendalian resiko penyakit, resiko sosial, dan manajemen resiko lingkungan; peningkatan efisiensi; pemasaran udang untuk meningkatkan konsumsi udang global; dan membangun kepercayaan antar stakeholder pada supply chain udang. Keberhasilan dalam produktifitas hatchery tidak luput dari faktor yang memengaruhinya yaitu teknik pemeliharaan/ SOP yang diterapkan, SDM yang dimiliki, lingkungan (kondisi alam dan status penyakit), dan genetik udang.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *