Seri Webinar Forum Udang Indonesia. Sharing Pengalaman dalam Mengatasi AHPND/EHP pada Budidaya Udang Intensif

Intensifikasi tambak budidaya udang menjadi salah satu strategi pemerintah dalam mencapai target produksi udang nasional tahun 2024 sebanyak 2juta ton per tahun. Pesatnya perkembangan budidaya udang secara intensif tentunya memunculkan berbagai permasalahan yang dihadapi, salah satunya yaitu penyakit. Wabah penyakit baik disebabkan oleh bakteri, virus, maupun parasit microscopodia ini dapat menurunkan produksi udang hingga 20%. AHPND (Acute Hepatopancreatic Necrosis Disease) dan EHP (Enterocytozoon hepatopenaei) masih menjadi concern bagi petambak karena berdampak pada pertumbuhan udang menjadi lambat dan ukuran udang tidak seragam.

Berkaitan dengan permasalahan tadi, FUI (Forum Udang Indonesia) menyelenggarakan webinar pada 27 Januari 2022 yang didukung oleh BPBAP Takalar, KKP, dan UNIDO. Dilihat dari antusias 322 peserta webinar ini, AHPND maupun EHP masih menjadi perhatian besar di kalangan penyuluh atau pembudidaya.

Pemateri pertama disampaikan oleh Bapak Supito S.Pi, M.Si, kepala BPBAP Takalar. Penyakit menurut beliau merupakan second effect dari terjadinya perubahan lingkungan dalam tambak. Perubahan lingkungan ini akan menjadi outbreak penyakit dalam budidaya udang karena patogen masuk saat udang mengalami stres. Sebagai contoh pada pH air, selisih perubahannya tidak boleh lebih dari 0,5 dan baiknya berada pada range <0,3. Beliau membagikan kunci keberhasilan dalam mengatasi penyakit budidaya udang yang intensif diantaranya pemahaman teknologi budidaya udang secara utuh, tenaga teknis berpengalaman disiplin dan teruji, konsisten menerapkan teknologi, sarana produksi yang terjamin mutunya (pakan, benih, dsb),dan sistem monitoring yang intensif.

Pemateri kedua, Bapak Guno Gumilar, menyampaikan konsep dasar dan strategi yang lebih rinci dalam mengatasi AHPND/EHP. Beliau membagikan pengalamannya dalam mengatasi AHPND. Pertama, kita harus mengetahui fase AHPND. Berdasarkan densitas bakteri dan hispatologi AHPND ada 3 fase, awal (initial), pertengahan (acute), dan akhir (terminal) dapat dilihat dari ukuran dan warna usus dan hepatopankreas udang. Kasus yang terjadi di BPBAP Takalar terjadi pada DOC 35 hari.

Manajemen dan control AHPND dapat dibagi menjadi 2 yaitu konvensional berupa desinfeksi dan pemberian antibiotik dimana kedua upaya ini akan berdampak adanya resistensi. Berbeda halnya dengan potensial kontrol meliputi pemberian probiotik, phage therapy, manipulasi lingkungan. Dalam pengaplikasiannya, BPBAP Takalar menggunakan strategi mitigasi AHPND berupa microbial community management (MCM) dengan pengayaan pakan dan menstabilkan C/N dalam wadah budidaya.

Pengayaan pakan dengan probiotik dipilih karena dapat meningkatkan pertumbuhan, meningkatkan imunitas udang, dan mempertahankan keseimbangan bakteri. Probiotik yang digunakan yaitu kombinasi bakteri Bacillus sp. (bakteri heterotrof), Lactobacillus sp. (memecah protein menjadi peptide dan asam amino), dan Rhodobacter sp.. pengayaan dimulai dengan mengaktivasi probiotik selama 6 jam lalu diberikan binder bahan perekat pakan. Penambahan probiotik dalam pakan dimulai DOC 25. Pengayaan pakan juga berperan dalam proses quorum sensing dimana bakteri patogen penyebab AHPND ini (Vibrio parahaemolyticus) akan berkurang densitasnya.

Keseimbangan bakteri heterotrof, bakteri nitrifikasi, dan bakteri denitrifikasi harus dijaga kestabilannya sejak awal pemeliharaan. Selama satu siklus pemeliharaan, kolam tanah tidak disifon karena mereka menemukan fakta di tahun 2016, setelah penyifonan muncul WFD. Asumsinya diduga karena C/N dalam air menjadi tidak stabil akibat sumber nitrogen dalam bentuk bahan organik sisa pakan berkurang. Upaya alternatif agar bahan organik dalam wadah budidaya tidak berlebih maka dilakukan pergantian air setelah DOC 35 dimana 5% di bulan pertama sebanyak 2 kali pembuangan air dan 10% setelah DOC 90.

Pada bulan pertama masa pemeliharaan terlihat nitrit rendah sedangkan nitrat tentu sangat rendah karena belum ada proses nitriikasi. Setelah bulan pertama mulai terlihat proses nitrikasi dimana nitrat meningkat pesat hingga pada minggu ke 10-12 masa pemeliharaan kondisi denitrifikasi berjalan yang menyebabkan nitrit menurun. Oleh karena itu, perhitungan C/N pada wadah budidaya harus tepat dan sifatnya sangat krusial agar sistem miksotropik berjalan meskipun blooming algae menjadi faktor pembatas akibat tingginya nitrat dalam air budidaya.

Sesi diskusi juga membahas mengenai upaya mengatasi Enterocytozoon hepatoenaei (EHP). Mikrosporidiosis ini dapat bersembunyi di dalam tanah sehingga kemungkinan resiko udang terserang EHP tetap ada. Spora ini juga memiliki karakteristik dinding sel yang tebal sehingga diperlukan oksidator kuat seperti hidrogen peroksida. Pemberian H2O2 dengan dosis 5% pada tambak lining dapat meminimalisir spora tersebut.

 

Intensifikasi tambak budidaya udang menjadi salah satu strategi pemerintah dalam mencapai target produksi udang nasional tahun 2024 sebanyak 2juta ton per tahun. Pesatnya perkembangan budidaya udang secara intensif tentunya memunculkan berbagai permasalahan yang dihadapi, salah satunya yaitu penyakit. Wabah penyakit baik disebabkan oleh bakteri, virus, maupun parasit microscopodia ini dapat menurunkan produksi udang hingga 20%. AHPND (Acute Hepatopancreatic Necrosis Disease) dan EHP (Enterocytozoon hepatopenaei) masih menjadi concern bagi petambak karena berdampak pada pertumbuhan udang menjadi lambat dan ukuran udang tidak seragam.

Berkaitan dengan permasalahan tadi, FUI (Forum Udang Indonesia) menyelenggarakan webinar pada 27 Januari 2022 yang didukung oleh BPBAP Takalar, KKP, dan UNIDO. Dilihat dari antusias 322 peserta webinar ini, AHPND maupun EHP masih menjadi perhatian besar di kalangan penyuluh atau pembudidaya.

Pemateri pertama disampaikan oleh Bapak Supito S.Pi, M.Si, kepala BPBAP Takalar. Penyakit menurut beliau merupakan second effect dari terjadinya perubahan lingkungan dalam tambak. Perubahan lingkungan ini akan menjadi outbreak penyakit dalam budidaya udang karena patogen masuk saat udang mengalami stres. Sebagai contoh pada pH air, selisih perubahannya tidak boleh lebih dari 0,5 dan baiknya berada pada range <0,3. Beliau membagikan kunci keberhasilan dalam mengatasi penyakit budidaya udang yang intensif diantaranya pemahaman teknologi budidaya udang secara utuh, tenaga teknis berpengalaman disiplin dan teruji, konsisten menerapkan teknologi, sarana produksi yang terjamin mutunya (pakan, benih, dsb),dan sistem monitoring yang intensif.

Pemateri kedua, Bapak Guno Gumilar, menyampaikan konsep dasar dan strategi yang lebih rinci dalam mengatasi AHPND/EHP. Beliau membagikan pengalamannya dalam mengatasi AHPND. Pertama, kita harus mengetahui fase AHPND. Berdasarkan densitas bakteri dan hispatologi AHPND ada 3 fase, awal (initial), pertengahan (acute), dan akhir (terminal) dapat dilihat dari ukuran dan warna usus dan hepatopankreas udang. Kasus yang terjadi di BPBAP Takalar terjadi pada DOC 35 hari.

Manajemen dan control AHPND dapat dibagi menjadi 2 yaitu konvensional berupa desinfeksi dan pemberian antibiotik dimana kedua upaya ini akan berdampak adanya resistensi. Berbeda halnya dengan potensial kontrol meliputi pemberian probiotik, phage therapy, manipulasi lingkungan. Dalam pengaplikasiannya, BPBAP Takalar menggunakan strategi mitigasi AHPND berupa microbial community management (MCM) dengan pengayaan pakan dan menstabilkan C/N dalam wadah budidaya.

Pengayaan pakan dengan probiotik dipilih karena dapat meningkatkan pertumbuhan, meningkatkan imunitas udang, dan mempertahankan keseimbangan bakteri. Probiotik yang digunakan yaitu kombinasi bakteri Bacillus sp. (bakteri heterotrof), Lactobacillus sp. (memecah protein menjadi peptide dan asam amino), dan Rhodobacter sp.. pengayaan dimulai dengan mengaktivasi probiotik selama 6 jam lalu diberikan binder bahan perekat pakan. Penambahan probiotik dalam pakan dimulai DOC 25. Pengayaan pakan juga berperan dalam proses quorum sensing dimana bakteri patogen penyebab AHPND ini (Vibrio parahaemolyticus) akan berkurang densitasnya.

Keseimbangan bakteri heterotrof, bakteri nitrifikasi, dan bakteri denitrifikasi harus dijaga kestabilannya sejak awal pemeliharaan. Selama satu siklus pemeliharaan, kolam tanah tidak disifon karena mereka menemukan fakta di tahun 2016, setelah penyifonan muncul WFD. Asumsinya diduga karena C/N dalam air menjadi tidak stabil akibat sumber nitrogen dalam bentuk bahan organik sisa pakan berkurang. Upaya alternatif agar bahan organik dalam wadah budidaya tidak berlebih maka dilakukan pergantian air setelah DOC 35 dimana 5% di bulan pertama sebanyak 2 kali pembuangan air dan 10% setelah DOC 90.

Pada bulan pertama masa pemeliharaan terlihat nitrit rendah sedangkan nitrat tentu sangat rendah karena belum ada proses nitriikasi. Setelah bulan pertama mulai terlihat proses nitrikasi dimana nitrat meningkat pesat hingga pada minggu ke 10-12 masa pemeliharaan kondisi denitrifikasi berjalan yang menyebabkan nitrit menurun. Oleh karena itu, perhitungan C/N pada wadah budidaya harus tepat dan sifatnya sangat krusial agar sistem miksotropik berjalan meskipun blooming algae menjadi faktor pembatas akibat tingginya nitrat dalam air budidaya.

Sesi diskusi juga membahas mengenai upaya mengatasi Enterocytozoon hepatoenaei (EHP). Mikrosporidiosis ini dapat bersembunyi di dalam tanah sehingga kemungkinan resiko udang terserang EHP tetap ada. Spora ini juga memiliki karakteristik dinding sel yang tebal sehingga diperlukan oksidator kuat seperti hidrogen peroksida. Pemberian H2O2 dengan dosis 5% pada tambak lining dapat meminimalisir spora tersebut.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *