Lokakarya ini diselenggarakan pada tanggal 7 – 8 September 2021 oleh YSAI dan bekerjasama dengan Hatfield Indonesia dimana diikuti oleh beragam stakeholder baik instansi pemerintah (KKP), perwakilan dari petambak udang yang diwakili oleh Forum Udang Indonesia (FUI), LSM, serta pelaku industri yang berkecimpung di budidaya udang. Karena kondisi Pandemi Covid 19 di Indonesia kegiatan ini dilakukan secara online dengan jumlah peserta sebanyak 67 orang.
Tujuan dari lokakarya ini yaitu untuk mendorong pengembangan budidaya udang berkelanjutan melalui sertifikasi, ketelusuran investasi serta dukungan kebijakan strategi branding. Harapan ke depannya, para stakeholder baik pemerintah maupun LSM dapat pembuatan join action yang akan dilakukan bersama untuk pengembangan industri budidaya udang berkelanjutan.
Acara ini disambut sangat baik oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam hal ini diwakilkan oleh bapak Tinggal Hermawan selaku Direktur Kawasan dan Kesehatan Ikan (KKI). Beliau menuturkan terkait untuk mencapai target yang diberikan bapak presiden Jokowi Widodo yaitu ekspor udang pada tahun 2024 naik 250% menjadi 2 juta ton per tahun, KKP memiliki 3 strategi utama. Tiga kebijakan tersebut adalah evaluasi data seluruh tambak udang di Indonesia sehingga database yang dimiliki akan menjadi dasar kebijakan selanjutnya yang lebih terarah dan terukur, revitalisasi tambak tradisional menjadi semi intensif untuk meningkatkan produktivitas budidaya, serta membuat modelling system tambak modern terintegrasi yang berkelanjutkan.
Pemaparan selanjutnya berasal dari Forum Udang Indonesia (FUI) yang diwakilkan oleh ketua umum FUI bapak Budi Wibowo. Beliau optimis terkait target ekspor udang di tahun 2024 akan tercapai, karena dari data yang ada beliau menuturkan tendensi ekspor udang di Indonesia dari tahun 2015 selalu meningkat. FUI memberikan 2 stimulan dalam mencapai nilai ekspor udang 4,25B USD di tahun 2024, yaitu dengan menaikkan harga udang kurang lebih 5% per tahunnya dengan memperbanyak proses value added pada pengolahan pasca panen dan volume produksi naik 15% per tahun.
Pernyataan yang menarik dari FUI ini yaitu revitalisasi tambak dari sistem tradisional berubah ke arah sistem tradisional plus berbeda dengan KKP untuk mengubah arah ke sistem intensif. Beliau menuturkan sistem tradisional plus ini sudah cukup untuk strategi mencapai target ekspor udang di 2024.
FUI juga memberikan rekomendasi untuk pemerintah agar target tercapai diantaranya penyerdahanaan izin usaha budidaya udang baik di tingkat daerah maupun pusat sehingga menjadi stimulan untuk menumbuhkan investasi baru, fokus pada meningkatkan infrastruktur budidaya seperti manajemen air/ saluran irigrasi, IPAL kolektif/ komunal, perbaikan jalan produksi, lab lingkungan di berbagai daerah, dan segera mandiri dalam penyediaan induk unggul, revitalisasi tambak dimana ini sama dengan program utama KKP, membuat SOP budidaya udang yang berkelanjutan, mempermudah pembudidaya untuk bisa mengambil sertifikasi terkait seperti indoGAP/ CPIB, meningkatkan nilai ekspor udang dengan meningkatkan nilai tambahnya, dan berkaitan dengan permodalan lembaga keuangan baiknya menurunkan tingkat resiko agar pembudidaya lebih mudah untuk dapat modal karena saat ini untuk permodalan budidaya udang masih dalam kategori high risk.
Pemaparan yang ketiga berasal dari Hatfield Consultant yang diwakilkan oleh Lida Pet-Soede. Beliau menjelaskan terkait latar belakang program pengembangan akuakultur di Indonesia yang didanai oleh Walton Family foundation yang dimulai sejak tahun 2017. Walton Foundation adalah yayasan yang didirikan keluarga Walton, pendiri jaringan supermarket terbesar di dunia, Walmart. Walmart juga memberikan perhatian mengenai proses produksi yang berkelanjutan. IAI (Initiative for ASEAN Integration) juga memiliki tiga tujuan dalam proyek di bidang akuakultur yang meliputi mempercepat perubahan baik dari segi teknologi maupun pengetahuan/ skill, membuka peluang baru untuk investasi di akuakultur yang berkelanjutan dan perubahan akuakultur menuju akuakultur berkelanjutan (sustainability).
Pada sektor akuakultur, produksi udang yang dibudidayakan secara intensif memberikan efek ke lingkungan sebanyak 19%. Lida Pet-Soede juga menuturkan terdapat sejumlah masalah terkait keberlanjutan (sustainibility) yang telah diidentifikasi pada budidaya udang Vanamei dan udang windu di Indonesia seperti darimana asal 300.000 ton tepung ikan untuk mencukupi kebutuhan dalam pakan udang, berkaitan dengan kedelai sebagai substitusi protein dalam pakan ada berapa banyak lahan yang ada untuk memproduksi kedelai setiap tahunnya, dan berkaitan dengan lahan budidaya yaitu lebih dari 1,9 juta hektar lahan yang dibutuhakn untuk budidaya udang dan bagaimana mendapatkannya. Meskipun terdapat sejumlah masalah dan kendala dalam budidaya udang, beliau optimis bahwa kolaborasi antara stakeholder akan menjadi jalan terbaik dalam mencapai target yang diinginkan di sektor budidaya udang. Kolaborasi seperti ini akan mempercepat perubahan budidaya udang yang berkelanjutan.
Pemateri berikutnya berasal dari salah satu pelaku industri yaitu FTUSA (Fair Trade USA) yang diwakilkan oleh Sven Blankenhorn. FTUSA bekerjasama dengan ASC (Aquaculture Stewardship Council) yang merupakan program sertifikasi terkemuka dunia untuk industri akuakultur dan mencakup berbagai proses akuakultur secara global. Tujuan dari kolaborasi ini yaitu mendapatkan uji coba dan mempersingkat perbaikan sejumlah tools bagi petambak untuk menghadapi uji sertifikasi ASC, memberikan uji sertifikasi dari Fair Trade yang telah diaplikasikan untuk petambak udang dan uji ini juga tersetifikasi oleh ASC, serta uji coba kompabilitas audit metodologi, cakupan dan potensi untuk efisiensi yang lebih baik untuk petambak udang.
Ada 5 poin menarik yang dihasilkan mengenai kolaborasi antara FTUSA dan ASC. Yang pertama yaitu perbaikan tools dalam sertifikasi yang dibuat ini telah sampai pada tahap menerjemahkan dokumen terkait dan mempublikasikannya. Selain itu, FTUSA juga mengembangkan dan terus memperbaiki kapasitas materi terkait namun prosesnya mengalami keterlambatan karena pandemi COVID-19 ini khususnya dalam banyaknya tantangan terkait pembahasan bersama stakeholder. Yang kedua, aplikasi sertifikasi APS (Agriculture Production Standard). Sertifikasi ini sudah diterapkan di salah satu perusahaan tambak udang di Lampung yaitu PT CP Prima dan PT BMI. Namun di PT CPP dihentikan karena alasan scope/ administrasi dalam perusahaan tersebut.
Poin selanjutnya yaitu kompabilitas audit. Penyesuaian audit pada tolak ukur (template audit, penggabungan kriteria sosial) dalam metodologi, mapping proses audit, dan sistem asuransi sesuai standar ASC dan FTUSA sudah selesai. Selanjutnya mengenai training yang mendukung sertifikasi tersebut. Progres yang dicapai yaitu persyaratan untuk pelaksanaan trainingnya telah dibuat dan sedang mencari organisasi untuk menjadi partner dalam mengimplementasikan di indonesia.
Poin terakhir yaitu meningkatkan implementasi sertifikasi ASC dan berdiskusi dengan pemerintah. FTUSA sedang gencar melakukan promosi terkait sertifikasi ini namun memiliki sejumlah kendala seperti sulitnya pembudidaya udang untuk diyakinkan karena di pasar udang yang meminta sertifikat tersebut sebagai syarat pembelian produk masih minim. Diskusi dengan pemerintah di tahun 2019 dan 2020 terkait hal ini juga mendapatkan respon positif.
Pemateri yang keempat pada hari pertama lokakarya yaitu Retno Nuraini perwakilan dari Deliberate Capital. Deliberate capital sedang bekerja sama dengan Rare untuk program intensifikasi budidaya udang berkelanjutan. Beliau menuturkan bahwa umumnya terdapat dua kendala utama petambak yang ingin beralih ke sistem intensif yaitu akses finansial dan terkait teknis yaitu sulitnya mendapatkan saprotan berkualitas serta masih perlu ditingkatkan terkait keahlian teknis dan manajerial. Melihat realita di lapangan, Deliberate Capital dan Rare menyediakan platform pembiayaan berbasis syariah, menyediakan pendampingan teknis dan monitoring berbasis teknologi dan memingkatkan berbagai aspek budidaya berkelanjutan seperti treacilbility dan perlindungan mangrove. Rare telah berhasil membuat pilot project intensifikasi budidaya pada tahun 2019 yang bekerja sama dengan Walton Family Foundation dan CP Prima. Hasil yang diperoleh yaitu produktivitas meningkat 10x dan pendapatan petani tentu saja juga meningkat 12x lipat.
Melihat output dari proyek percontohan di Lampung, maka Rare dan Deliberate Capital mulai ekspansi di fase ke 2 ini. Dalam segi investasi, mereka tidak memberikan pinjaman berupa uang tunai melainkan kebutuhan petambak seperti pakan, serta menerapkan mekanisme bagi hasil. Terdapat juga Financing facilty (CV) menyediakan jasa (kontraktor area) untuk renovasi atau membuka lahan baru dan produk (pakan misalnya) untuk diberikan ke petambak. Penyediaan saprotan yang berkualitas serta penyediaan tenaga pendamping teknis di setiap cluster juga turut diadakan. Terdapat juga satu syarat untuk penerima hibah yatu tidak boleh ekspansi atau renovasi lahan mangrove/ lahan basah lainnya menjadi tempat budidaya.
Pemateri berikutnya yaitu Deny Indradjaja perwakilan dari Sustainable Fisheries Partnership. Kunci utama yang dijalankan terkait industri udang berkelanjutan yaitu memberikan data terkait permintaan dan suplai pasar, asal tepung ikan untuk bahan baku pakan terutama yang ditangkap dari alam apakah penangkapannya sudah memenuhi aspek berkelanjutan atau tidak. Untuk asal tepung ikan lokal berasal dari produk sampingan industri pengalengan baik ikan mackarel maupun ikan tuna, industri surimi, dan lain sebagainya. Namun, untuk data real tepung ikan lokal masih belum ada datanya terkait jumlah produksi.
Beliau memberikan tiga langkah strategi untuk mencapai industri udang berkelanjutan yaitu membuat survei yang spesifik mengambil data mengenai sumber ikan yang digunakan dalam pakan serta mendukung penelitian terkait FCR maupun pertumbuhan udang. Strategi berikutnya yaitu membuat efisiensi lebih dalam penggunaan ikan dalam pakan terkait dengan substitusi bahan pengganti protein dalam pakan, mendorong penanganan pasca panen ikan yang lebih baik untuk bahan tepung ikan. Strategi terakhir yaitu memanage sumber penggunaan ikan lebih baik.
Pemateri selanjutnya dari Precon Group yang diwakilkan oleh Ronald Van Den Heuvei yang bertemakan mengembangkan materi pembelajaran dan solusi kualitas kontrol pada tambak udang serta mengembangkan sertifikat terkait produk akuakultur yang berkelanjutan. Smartshrimp.id merupakan sebuah platform yang didirikan 3 tahun lalu dan keunikan dari platform ini yaitu materi pembelajaran didesain ulang menjadi up to date konten pembelajaran masa kini dan ditambah dengan orang yang mengakses materi ini dapat divalidasi kompetensinya berdasarkan tes yang akan diberi, tentunya tes ini telah memenuhi standar nasional.
Orang yang belajar di Smartshrimp.id juga dapat mengakses sistem manajemen kolam dan dapat memasukkan data kualitas air secara real time. Capaian yang diperoleh bersama partner projek ini (CP Prima) yaitu dapat membantu petani dalam memanage tambak seperti data dengan mudah dapat diakses, meminimalisir waktu yang dibutuhkan dan tentunya efisiensi meningkat terkait dengan tracebility (ketelusuran) dan proses audit sertifikasi. Selain itu, dapat menurunkan biaya operasional dan aplikasi ini sudah dapat didownload dan digunakan di handphone. Dalam jangka pendek ini, Smartshrimp.id berfokus untuk meningkatkan jumlah pengguna dan bekerjasama dengan institusi pendidikan untuk promosi. Ambisi kedepannya adalah beranjak ke komoditas lainnya.
Pemateri selanjutnya dari Dylan Howell dari Hatch. Hatch merupakan perusahaan rintisan dari Singapura yang fokus kepada akuakultur yang berkelanjutan. Hatch sebagai jembatan dalam mengatasi gap/ kesenjangan pengetahuan antara pembudidaya, investor, pengusaha, dan pembudidaya di rancah internasional. teknologi yang dibandingkan antar negara meliputi 10 area yaitu infrastruktur hingga biosekuriti. Yang pertama lokasi tambak, yang membedakan Indonesia dengan tren yang ada yaitu lokasi tambak di Indonesia kebanyakan di wilayah pesisir sedangkan trennya di daratan (in land) dan air yang masuk langsung dari air laut sedangkan trennya sudah memakai air resirkulasi dalam prosesnya. Dalam segi desain tambak, Indonesia masih mayoritas berbentuk segi empat sedangkan trennya sudah masuk ke kolam bulat. Pada manajemen air yang digunakan, di Indonesia kontrol air limbah masih manual sedangkan tren sudah masuk ke semi automatic. Dari segi aerasi, di Indonesia kincir yang digunakan masih kurang efisien dimana model kincir aerator masih kurang baik dari segi jumlah yang digunakan per kolam maupun bentuk wheels nya atau kincirnya.
Pemateri berikutnya berasal dari Solidaridad yang diwakilkan oleh Juanita M. Solidaridad Indonesia yang mengadakan Aquaculture Innovation Challenge tahun 2019. Peserta berassal dari 5 negara. Terdapat 3 finalis yaitu Seable, autofeeder untuk hatchery udang, Vito molt, herbal suplemen untuk meningkatkan retensi protein, WeTech, aerasi yang berbahan bakar solar, Venambak pereduksi amonia, dan Wittaya-Aqua platform manajemen pakan.
Seluruh finalis selanjutnya diberikan timeline dan pendanaan untuk melakukan skala percontohan namun untuk finalis Seable tidak bisa mengikuti dikarenakan pandemi covid-19. Skala percontohan (pilot scale) dilakukan di Pangkep, Sulawesi Selatan. Hasil yang diperoleh yaitu mempersingkat waktu pemeliharaan, meningkatkan produktivitas. Sedangkan Venambak dilakukan di Sidoarjo, Jawa Timur namun SR yang dicapai masih sangat rendah.
Pemaparan selanjutnya berasal dari IDH yang diwakilkan Anne Fadilla Rachmi dan membawakan materi bertemakan program peningkatkan budidaya udang di Banyuwangi. Fokus dari program ini yaitu peningkatan perencanaaan tata ruang dan zonasi, pengelolaan kualitas air dan penyakit. Monitoring kualitas air pada Juni 2020- April 2021 bekerjasama dengan UNAIR dan SCI sedangkan untuk diagnosis dan pencatatan penyakit dalam suatu kecamatan bekerjasama dengan JALA.
Dalam peningkatan kapasitas dan pembelajaran maka diadakan pelatihan perbankan nasional dengan peserta yang berasal dari bank nasional, perusahaan nasional, dan perusahaan teknologi budidaya udang. Sedangkan program pelatihan budidaya udang, literasi keuangan dan sebagainya yang ditagetkan untuk petambak telah dilaksanakan dengan jumlah peserta sebanyak 108 petambak. Langkah selanjutnya yang dibuat oleh ThinkAqua yaitu pengembangan peta jalan, membangun center of excellent antar para stakeholder, dan bantuan untuk membuka kunci investasi dan pasar internasional.
Pemaparan dari YSAI yang diwakilkan Kenidas Lukman menyatakan adanya potensi kolaborasi bersama KKP dan FUI dalam penyusunan SOP teknis pengelolaan kualitas air dan melakukan training dan sosialisasi penerapan IPAL pada tambak udang.
Pemaparan materi terakhir dari Longline yang diwakilkan oleh Rui Gomes Ferreira. Beliau menjelaskan mengenai platform Aquascape. Aquascape ini merupakan platform yang dapat menyediakan data terkait pemetaan lokasi budidaya beserta beberapa data pendukung kualitas air. Pilot poject dilakukan di Banyuwangi. Data yang ditampilkan meliputi jenis budidaya dan klasifikasinya, sertifikasi, status penyakit, luas total tambak, mapping tambak, data kualitas air secara realtime.
Pada hari kedua lokakarya diadakan plenary atau diskusi terbuka terkait program atau platform yang peserta miliki yang dapat dikolaborasikan antar stakeholder. Terdapat 3 program utama yang digarisbesarkan, yaitu SOP dimana Hatfield, YSAI dapat berkolaborasi bersama dalam program tracebility/ ketelusuran ini dapat bekerjasama dengan Longline yang memiliki platform Aquascape, dan yang terakhir mengenai sertifikasi dan inovasi lainnya.
Berkaitan dengan tracebility/ ketelusuran, pemerintah selaku pemangku kebijakan telah mengeluarkan permen KP no 29 tahun 2021 mengenai pengembangan tracebility dalam budidaya perikanan dimana data terkait pembudidaya masih terbatas, hanya 30% dan data tersebut masih berasal dari pembudidaya skala menengah ke atas. Dirjen PDS (Penguatan Daya Saing) KKP juga telah mengeluarkan STELINA (Sistem Telusur Stok Ikan dan Produk Perikanan). STELINA merupakan sistem informasi ketelusuran ikan dan produk perikanan nasional yang dibangun untuk memenuhi kebijakan dan regulasi negara tujuan ekspor. STELINA mengkoneksikan semua sistem informasi rantai pasok (supply chain) dan ketelusuran (traceability) ikan dan produk perikanan sebagai pencatatan ketelusuran secara elektronik mulai dari penangkapan, budidaya, pemasok, distribusi, pengolahan,sampai ke pemasaran.