Webinar series II yang bertajuk “SOP Budidaya Udang Vannamei Yang Berkelanjutan” ini
telah diselenggarakan pada 23 Desember 2021 oleh FUI (Forum Udang Indonesia). Webinar
sesi ke II ini berfokus pada proses kegiatan budidaya udang mulai dari manajemen kualitas
air, manajemen pakan dan pemberian probiotik, manajemen kesehatan udang dan pengelolaan
air buangan (effluent).
Ir Budhi Wibowo selaku ketua FUI menuturkan bahwa sosialisasi SOP budidaya udang
vanamei yang berkelanjutan ini telah dilakukan bulan lalu dengan materi yang disampaikan
berfokus pada persiapan tambak. Sosialisasi SOP ini tidak hanya dilakukan melalui webinar
saja tetapi juga melalui training yang telah dilakukan di Banyuwangi. Diharapkan di tahun
depan training SOP ini dapat dilakukan di berbagai daerah di Indonesia.
Sudari Pawiro perwakilan dari UNIDO (United Nations Industrial Development) juga
menambahkan bahwa program global quality standard program ini telah berjalan 3 tahun dan
tahun depan menjadi tahun terakhir dalam program kerja UNIDO. Program ini diharapkan
dapat meningkatkan skill budidaya udang melalui penerapan SOP sehingga mampu
meningkatkan kapasitas produksi dan produktivitas usaha budidaya udang vannamei yang
berkelanjutan. Standard Operational Procedure yang disusun oleh prof Sukenda ini, telah
melalui pembahasan materi melalui FGD dengan berbagai stakeholder dan telah dilakukan
pilot project penerapan SOP ini di lampung. Hasil dari pilot project ini memberikan hasil yang
memuaskan dilihat dari segi produktivitas dan kualitas produk udangnya. Di tahun 2022
UNIDO juga akan berfokus pada pendampingan serta monitoring untuk stakeholder
khususnya petambak yang akan menerapkan SOP ini.
Berbicara mengenai manajemen kualitas air yang perlu diperhatikan yaitu faktor fisika, kimia,
biologi. Ketiga faktor tersebut sangat kritis dalam proses budidaya udang. Prof Sukenda
menjelaskan adanya perubahan penyakit viral menjadi penyakit bakterial menjadi hal yang
perlu diwaspadai. Perlu diperhatikan juga mengenai dominansi kelompok plankton mana yang
harus ditumbuhkan lebih banyak dan mana yang harus diminimalisir di tambak. Perlu dicatat
bahwa kegiatan pergantian air dan siphon kolam budidaya diperlukan aklimatisasi untuk air
yang akan masuk ke tambak karena menurunnya kondisi kualitas air laut saat ini.
Pengelolaan kualitas air pada budidaya udang vannamei yang berkelanjutan di dalamnya juga
termasuk pengelolaan air buangan (effluent). Pengelolaan effluent ini menjadi sorotan
pembeli di pasar internasional maupun pada global quality standard karena air limbah ini
diindikasikan dapat mencemari air di lingkungan sekitar tambak. Prinsip dari pengelolaan
limbah tambak yaitu mengubah bahan organik menjadi bentuk molekul yang sederhana yang
tidak bersifat polutan. Pengadaan sistem pengelolaan limbah yang komplit dengan standar
IPAL sesuai SNI di tambak masih menjadi pertimbangan petambak terkait dengan beberapa
hal terutama pada keterbatasan lahan, finansial usaha, maupun kompleksitas teknologi desain
instalasi pengelolaan air limbah yang digunakan. Oleh sebab itu FUI juga memperkenalkan
IPAL minimalis yang dapat diterapkan pembudidaya udang.
Memasuki materi manajemen pakan, Prof Sukenda menjelaskan mengenai peran pakan bagi
udang yaitu sebagai nutrisi untuk pertumbuhan, perkembangan organ, dan daya tahan tubuh.
Kebutuhan nutrien berbeda pada setiap stadianya dan selalu terkait dengan perubahan
lingkungan. Misalnya pada musim pancaroba (beididing) pada air tambak terjadi fluktuasi
suhu air yang signifikan sehingga udang lebih mudah sakit dan pertumbuhan lambat. Untuk
mensiasatinya udang butuh asupan suplemen antioksidan dan mungkin juga taurin yang
berbeda dibandingkan dengan kondisi normal. Penetapan feeding rate ini setiap pakan
memiliki acuan FR nya masing-masing namun biasanya manajer operasional akan mengubah
proporsi FR sesuai dengan kondisi di lapangan agar pakan dapat terserap optimal.
Manajemen sampling perlu dilakukan untuk mengevaluasi kesehatan udang seperti melihat
bentuk fisik (normalitas atau abnormalitas) udang dan mengatur pemberian pakan. Peralatan
sampling (jala, timbangan digital, dsb) diusahakan untuk tidak dipakai antar kolam namun
jika kondisi terbatas maka setelah sampling peralatan wajib disterilisasikan.
Manajemen kesehatan udang dan lingkungan memiliki prinsip upaya holistik yang terintegrasi
terhadap pencegahan penyakit mulai dari preparasi (pemilihan benih yang baik, persiapan
optimal), nutrisi yang baik, manajemen kualitas air yang baik, monitoring kesehatan udang
yang konsisten, dan pengurangan faktor stressor pada udang. Penyakit utama yang menyerang
udang vannamei ini seperti vibriosis, white spot, WFD, dsb. Perlu ditekankan bahwa imunitas
udang sifatnya tidak spesifik sehingga tidak diperantarai oleh sistem imun yang adaptif
namun banyak diperantarai oleh antibodi yang sifatnya inerd natural immunity yang sifatnya
non spesifik sehingga perlu diberikan vitamin dan pakan adiktif lainnya secara rutin.
Pakan adiktif yang dapat ditambahkan yaitu probiotik. Peran probiotik dalam tubuh udang
yaitu sebagai menghambat pertumbuhan bakteri yang berbahaya bagi udang, suplemen pakan,
dan mampu memperbaiki kualitas air. Probiotik yang digunakan harus merupakan produk
legal dan petambak harus memiliki catatan penggunaan probiotik dan bioremediasi lainnya
selama budidaya.
Chapter SOP terakhir terkait dengan biosekuritas dimana berperan untuk mencegah dan
melindungi udang dari masuknya patogen potensial (introduksi penyakit dan agen penyakit)
pada setiap tahapan proses produksi. Treatment yang digunakan dikategorikan menjadi 3
metode yaitu fisika, kimia, dan biologi. Di dalam prakteknya, kita bisa mengembangkan
pendekatan hazard analysis dan critical control point. Contoh praktek biosekuritas dalam
budidaya udang yaitu memasang bird scaring advices.
Setelah pemaparan materi yang diberikan Prof Sukenda selanjutnya dilakukan pembahasan
oleh pak Hardi Pitoyo perwakilan dari SCI (Shrimp Culture Indonesia). Yang pertama, beliau
menambahkan saran mengenai adanya perbedaan pada manajemen pengelolaan dasar tambak
di masing-masing jenis tambak (tambak semi HDPE, tambak tanah, atau tambak HDPE).
Beliau menambahkan juga terkait perbedaan standar kualitas air pasok, air budidaya, dan air
limbah. Misalnya pada kualitas air pasok dengan air kolam budidaya jumlah vibrio pada
kedua air tersebut berbeda, TSS dan TOM pun berbeda juga.
Masih pada manajemen kualitas air, pengukuran DO pada siang hari dilakukan agar dapat
mengevaluasi seberapa banyak DO yang diberikan dari hasil fotosintesis plankton.
Keseimbangan antara plankton dan bakterial harus diseimbangkan di dalam kolam. Mengenai
effluent, kita sering salah mengartikan air limbah budidaya. Berbeda menurut beliau,
standardarisasi air buangan budidaya ini bukan berarti sama dengan air limbah industri,
namun effluent hanya perubahan ekologi dari sifat airnya sehingga diperlukan IPAL