Makassar, 21-23 Oktober 2021 ( https://youtu.be/Z582U5pO6ZQ )
Workshop Nasional ini diselenggarakan selama 3 hari oleh Yayasan SustainAqua Indonesia bekerjasama dengan Walton Family Foundation. Peserta dalam workshop ini terdiri atas 17 peserta yang merupakan perwakilan NGO dari berbagai provinsi di Indonesia. Acara ini dibuka pada 21 Oktober 2021 pukul 19.49 Wita di Fave Hotel Makassar. Pembukaan diawali dengan sambutan dari Rizki Dwinanto selaku Ketua Yayasan SustainAqua Indonesia (YSAI).
Pada sambutannya, Rizki menyampaikan alasan dalam mengusung tema mengenai, “Kerjasama Strategis untuk Mempromosikan Budidaya Udang yang Harmonis dan Berkelanjutan di Kawasan Mangrove”. Alasannya ialah seringkali budidaya udang disalahkan karena mengambil lahan mangrove untuk budidaya bahkan cenderung merusak ekosistem mangrove yg sudah ada. Oleh karenanya, perlu upaya khusus untuk perbaikan.
Dalam penyampaiannya, Rizki juga menjelaskan korelasi tema Workshop dengan tujuan YSAI untuk mendukung peningkatan budidaya udang yang berkelanjutan. Selepas sambutan, peserta yang merupakan perwakilan NGO diberikan kesempatan masing-masing untuk menjelaskan profil NGO dan kontribusi yang telah dilakukan sejauh ini terkait dengan budidaya udang windu, hutang mangrove, dan aktivitas ekologis lainnya..
Pemaparan pertama dalam workshop diawali dari Bina Insan Rakyat. Sebuah NGO dari Jawa Barat yang berdiri tahun 2018 dan terkonsentrasi di daerah Subang dan Karawang. NGO ini menanam mangrove meskipun beberapa kali bertemu dalam permasalahan ketidakjelasan pemilikan lahan. Dengan beberapa kejadian, akhirnya diadakanlah sosialisasi pentingnya mangrove bagi pesisir dan perikanan sebagai fokus program.
Edukasi mengenai mangrove yang dilakukan oleh Bina Insan Rakyat diawali dengan menjelaskan fungsi ekonomi mangrove yaitu sumber ikan, yang merupakan tempat memelihara ikan, udang, dan lain-lain. Semakin banyak hutan mangrove, ikan semakin banyak. Selain sebagai fungsi budidaya ikan, udang. Serta bandeng, mangrove juga sebagai tempat budidaya lebah dan kayu. Sebagai fungsi ekowisata, wilayah pesisir mangrove sebagai tempat memasarkan produk UKM dan sebagainya.
Presentasi kedua dilakukan oleh Kontinu Indonesia yang diwakili Sarifuddin Zain dari Pinrang. Kontinu yang berdiri pada 2019, menggalang para akademisi, NGO, BMKG, dan masyarakat umum untuk tergabung bersama dalam Kontinu. Program utama Kontinu adalah PANDAWA 1000 yang merupakan singkatan dari Pengembangan Udang Windu Berbasis Wawasan Lingkungan. Selain itu, pada aspek pemberdayaan perempuan, Kontinu mendorong para ibu untuk berdaya dengan terlibat pada proses memisahkan benur satu per satu sebelum penebaran bibit dan juga terdapat kelompok binaan yang melakukan produksi abon bandeng.
Presentasi ketiga dilakukan oleh Sarana Agrotama yang diwakili oleh Zainoedin Arif dari Kalimantan Barat, Melalui penjelasannya, Sarana Agrotama bersama Dinas KKP melakukan restorasi kawasan mangrove karena telah banyak lahan habis yang merupakan dampak dari kerusakan lingkungan. Oleh karena itu, konsentrasi edukasi yang dilakukan Sarana Agrotama adalah menghidupkan kembali tradisi tambak tradisional yang jauh lebih berkelanjutan dibanding tambak teknologi.
Presentasi keempat dilakukan oleh Komunitas Bumi Badak Bestari yang diwaliki oleh Mursalim. Dalam kesempatannya, Mursalim menyampaikan bahwa harus ada ketegasan dalam pengembangan mangrove. Pertarungan ada dengan Pertanian dan Kehutanan karena jika masih di kawasan Hutan, untuk pengembangan kawasan mangrove tidak akan memperoleh dana.
Presentasi kelima dilakukan oleh LSM Koin (Konservasi Indonesia) dari Jawa Timur. LSM ini berdiri tahun 2012 dengan program membina petambak tradisi, bukan petambak intensif. Adapun tantangan yang diperoleh ialah jenis tanaman yang tidak cocok dengan semua lingkungan kawasan mangrove. Seperti tanaman Api-api susah tumbuh di Sidoarjo karena sanitasi rendah. Tanah hitam juga susah untuk Rhizopora.
Presentasi keenam dilakukan oleh Mato Lo Taluhu yang diwakili Iwan Usman dari Gorontalo mengenai agenda pemberdayaan ekonomi masyarakat dengan memanfaatkan keterlibatan para remaja. Sehingga tujuan untuk menjadikan kawasan sebagai tempat agrowisata dapat tercapai.
Presentasi ketujuh dilakukan oleh Kompi Indramayu dari Koalisi Masyarakat Pesisir Indramayu yang berdiri tahun 2004. Tujuan dari Kopmi Indramayu adalah mempersatukan kelompok yang ada dengan agenda pengawasan lingkungan hidup di Indramayu, pemberdayaan masyarakat pesisir, advokasi lingkungan, dan membuka wisata baru.
Presentasi kedelapan dilakukan oleh Mitra Bentala yang diwakili oleh Rizani dari Lampung. Mitra Bentala berdiri sejak tahun 1995 dengan tujuan untuk mengurangi rusaknya ekosistem yang ada di wilayah pesisir melalui pengelolaan sumberdaya dan pemberdayaan ekonomi pesisir.
Presentasi kesembilan dilakukan oleh Serikat Petambak Pantura Indonesia yang telah mengadakan acara terkait edukasi dalam pengelolaan mangrove dan penanaman mangrove sesuai dengan karakteristik kawasan. Selanjutnya presentasi kesepuluh dilakukan oleh AAC (Aceh Aquaculture Cooperative) yang mengusung tema presentasi yakni Promosi Sustainable Aquaculture Business Model. Sebagai daerah yang terkenal dengan udang windu sebagai sumber induk. Kabar buruknya ialah Aceh hari ini akan ditinggalkan udang windu. Setelah Tsunami pada tahun 2004, kondisi tambak hancur mencapai 90%. Saat ini, pemerintah aceh menargetkan 250% peningkatan produksi udang windu.
AAC bekerja di seluruh Aceh dengan sebanyak 8 cluster. Tiga dari cluster menjadi wilayah udang windu dan menggalakkan kampanye menolak udang vaname. Harapan dari AAC bialah menghadirkan udang windu kembali mulai dari hulu ke hilir. Presentasi selanjutnya dilakukan oleh Lentera Borneo Mandiri dari Tarakan. Selain agenda pemberdayaan dan budidaya berkelanjutan, Lentera borneo mengadvokasipermasalahan bibit yang tidak tersertifikasi dan tidak terjamin.
Presentasi terakhir pada hari pertama dilakukan oleh Econatural Society Indonesia yang memiliki cakupan kerja di pesisi memandang lingkungan tidak hanya dari sisi produksi, tetapi dari sisi sosial kemasyarakatan. Mitra kerja Econatural terdiri dari beberapa lini yaitu: Baznas, Pertamina, MARS Symbioscience, dan Telkom indonesia. Dari program kemitraan, telah hadir learning centre, bank sampah, dan rumah produksi. Terkait dengan mangrove, rekomendasi Econatural adalah penanaman jangan sampai mengubah bentang alam. Oleh karenanya, sebaiknya tidak menanam mangrove ke depan. Lewat pertemuan ini juga, Econatural berharap dapat terumuskannya hal baru agar mengembalikan lahan mangrove ke asalnya. Bukan dengan menambah lahan namun merumuskan gaya baru pendampingan ekonomi di wilayah mangrove dengan gaya pendampingan yang berkelanjutan.
SESI 2, 22 Oktober 2021
Sesi 2 dimulai pagi hari pada jumat 22 Oktober 2021 dengan Rizki Dwinanto sebagai moderator. Pada sesi dua narasumber terdiri atas empat orang, yakni Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulsel, Muh. Saenong (Akademisi/Dosen UMI), Harry Yuli (Praktisi/ PT Alter Trade Indonesia), dan Supito (Kepala Balai Perikanan Budidaya Air Payau Kabupaten Takalar).
Narasumber pertama Kepala Dinas KKP Sulawesi Selatan menjelaskan konsep pengembangan udang windu harus menjadi fokus dan konsentrasi bersama. Oleh karenanya, kualitas harus premium dan petambak harus memperoleh pendampingan yang intensidi lapangan. Salah satu daerah yang menjadi fokus pemerintah adalah Pinrang yang memliki 37 kelompok dan 733 pembudidaya. Selain itu,terdapat pula di Pangkep, Makassar, Pare-Pare, Luwu Raya, Bosowasi, Selayar, dan Bulukumba. Kepala Dinas KKP juga menyampaikan bahwa setiap tahun pemerintah mencanangkan penanaman mangrove sebagai upaya konservasi. Selanjutnya program ini akan terintegrasi dengan rencana pengembangan.
Sesi selanjutnya, Muh. Saenong (Akademisi/Dosen UMI), menjelaskan tentang data korelasi mangrove yang baik dengan produksi udang. Contohnya di Konawe, setelah dibenahi kawasan mangrovenya, hasil udang jauh lebih banyak. Proses mencapai target dilakukan dengan konsep AKUR yang merupakan dingkatan dari Arah, Kawan, Upaya, dan Risiko.
Pada sesi ketiga, Harry Yuli sebagai pihak eksportir dari PT Alter Trade Indonesia (ATINA) menjelaskan bahwa tingginya permintaan udang windu di kancah internasional. Sehingga diharapkan dengan adanya pertemuan ini, akan memicu hasil udang yang melimpah di berbagai daerah di Indonesia. Melalui Atina, Harry menjelaskan bahwa telah terjadi berbagai program edukasi untuk memberikan bukti bahwa budidaya udang Indonesia telah berkembang dengan mendorong budidaya udang windu berdampingan dengan hutan mangrove. Program ini tidak merusak lingkungan bahkan lebih mendukung pengembangan udang windu. Edukasi ini harus tersampaikan dengan peran aktif NGO hadir di tengah masyarakat untuk menyampaikan kriteria budidaya berkenaljutan yang patut menjadi perhatian, kepatuhan hukum, dan pemahaman dari penambak tentang benih dan pakan berkualitas.
Selanjutnya selaku narasumber terakhir, Supito dari Balai Perikanan Budidaya Air Payau Kabupaten Takalar Kementerian Kelautan dan Perikanan menjelaskan presentasi berjudul Pengelolaan Air Tambak Udang Windu Sederhana dengan Aplikasi Pupuk Fermentasi. Langkah yang dilakukan untuk mewujudkan konsep tersebut adalah menanam pohon kelapa di sekeliling kawasan, mewujudkan produksi benur berkualitas dengan perlakuan suhu hangat, dan teknologi budidaya sederhana yang tepat guna. Supito juga menjelaskan bahwa setiap jengkal tanah akan mempengaruhi kualitas air di atasnya. Tanah bau akan teroksidasi dengan baik setelah dijemur sehingga oksigen banyak tersedia pada saat kering.
Urgensi dari pupuk fermentasi ialah akan mempercepat penguraian kotoran (bahan organik) tanpa memerlukan oksigen (bakteri anaerob). Bahannya yaitu dedak halus, tepung topioka, dan ragi tape. Bahan tersebut agar bakteri dapat berkembang dengan baik. Dampak selanjutnya, banyak tanaman air dan banyak cacing sebagai makanan udang. Adapun permasalahan lumut jika tidak diatasi, akan mengalami pembusukan dan udang akan mati.
SESI KUNJUNGAN LAPANGAN
22-23 Oktober 2021
Kunjungan lapangan dilakukan di salah satu tambak udang windu yang telah mencoba untuk melakukan harmonisasi dengan kawasan mangrove yang terletak di Kampung Barakka, Desa Jampue, Kelurahan Larinsang, Kec. Larinsang dan Desa Kasiee, Kec. Suppa. Daerah tersebut merupakan lokasi kawasan pengembangan budidaya udang windu ramah lingkungan. Adapun NGO lokal yang turut membersamai kunjungan sekaligus telah melakukan pendampingan tambak udang windu di lokasi tersebut adalah Kontinu Indonesia yang bekerjasama dengan PT. Atina (salah satu pemilik label Ecoshrimp di Indonesia).
Agenda dalam sesi kunjungan lapangan terdiri atas mengamati proses panen udang windu, proses penyediaan makanan (nursery), kegiatan di tempat pembibitan dan penangkaran benih (hatcheri), serta Penanaman mangrove, lalu ditutup dengan Diskusi mengenai hasil-hasil pengamatan selama di lapangan. Selepas dari agenda tersebut, juga terdapat Kunjungan ke pabrik pengolahan udang PT. Atina.
Agenda pertama yakni proses panen udang windu dilakukan dengan sistem parsial pada pagi hari. Setiap bulannya, mereka bisa produksi hingga 40 sampai 60 ton. Bahkan pada musim puncak Maret dan April, panen bisa mencapai dua kali lipat. Hal ini untuk menjaga mutu undang karena telah dibuat SOP untuk panen dan pengiriman di hari yang sama untuk menjaga kualitas udang. Selain SOP panen, telah ada SOP penanganan pangan dan penimbangan yang dimonitoring melalui aplikasi pencatatan secara digital yang merupakan bagian dari internal control system.Setelah proses panen, udang windu dihitung lalu ditimbang bersam es dan selanjutnya dibawa ke rumah kordinator untuk menghitung ukuran (size) rata-rata dari udang windu.
Proses penyediaan pakan dari tambak sangat terbantu dengan tersedianya pakan alami, yakni pronima yang cukup memadai. Adapun pengembangan yang dilakukan oleh Kontinu ialah bagaimana memanfaatkan berbagai riset untuk berbagai perlakuan dalam mengembangkan pakan alami tersebut. Selanjutnya kegiatan di tempat pembibitan dan penangkaran benih (hatcheri), peserta melihat langsung dan memperoleh penjelasan mengenai tahapan dari pembibitan hingga penebaran benih terjadi di tambak. Dalam proses ini, nelayan juga telah menerapkan beberapa teknologi hasil riset dalam proses pembibitanya seperti adanya Probilizer yang merupakan probiotik yang terdiri atas probiotik serbuk dan cair yang diproduksi oleh balai riset di Maros.
Selanjutnya, Peserta melakukan agenda penanaman mangrove di sekitar wilayah tambak. Agenda ini juga melibatkan pelajar dari SMK Pinrang, mahasiswa KKN Universitas Muslim Indonesia, dan masyarakat sekitar. Agenda ini secara khusus bertujuan untuk melahirkan kepedulian mengenai urgensi dari kawasan mangrove sebagai pelindung abrasi, penahan lumpur dan penangkap sedimen. Sehinga sangat bermanfaat bagi lingkungan.
Setelah rangkaian agenda di atas, seluruh peserta berkumpul di Sekretariat Kontinu Indonesia untuk makan siang sekaligus melanjutkan sesi diskusi mengenai hasil-hasil pengamatan selama di lapangan. Dalam hal ini terjadi proses interaksi timbal balik dimana setelah Kontinu Indonesia menjelaskan berbagai hal yang telah dilakukan, peserta kemudian memberikan saran kepada Kontinu mengenai hal-hal yang dapat dikembangkan kedepannya.
Adapun masukan dari peserta ialah bagaimana pertanian, perikanan dan peternakan yang bisa terintegrasi. Selanjutnya, pengolahan pakan menggunakan bahan alami dan tradisional yang telah diterapkan harus dipertahankan sehingga mampu menjadi model rujukan yang bisa dipelajari oleh orang banyak. Dengan proses tersebut, kedepannya tambak udang windu di Pinrang ini memiliki potensi besar untuk pengembangan pariwisata yang ketika jadi akan banyak orang yg berbondong-bondong ingin mensponsori. Adapun hal yang mendasar agar bisa terus berkelanjutan adalah link ke market dan tahapan ini telah sangat terbantu dengan adanya PT ATINA. Selanjutnya yang menjadi tantangan adalah konsekuensi dari banyaknya kunjungan yang akan terus terjadi. Oleh karenanya, perlu adanya sistem untuk menguatkan kelompok. Ukm olahan abon yang telah ada harus dikembangkan kepada souvenir, tempat makan hingga pariwisata dengan memberdayakan UKM binaan dengan variant baru olahan organik hingga konsep pendampingan kelompok yang semakin meluas.
Pesan lainnya dari sesi diskusi datang dari Econatural Indonesia yang menyampaikan bahwa modal dasar untuk besar 90% telah ada pada Kontinu. Persoalan selanjutnya adalah manajemen konflik yang harus selalu ada dalam kelompok. Oleh karenanya, perlu dibuat learning centre di lokasi tambak untuk menjelaskan proses fermentasi pakan dan pronima untuk menjadi etalase informasi yang mengundang kunjungan berbagai aktivitas riset yang berkelanjutan. Harapannya adalah segala aktivitas ekonomi berjalan di dalam tambak dengan adanya contoh yang dapat dilihat secara langsung. Adapun produk hasil olahan dari binaan kedepannya harus diuji oleh panelis. Sehingga mampu bersaing di market. Dibeli karena kualitas bukan karena kasihan.
Sesi terakhir diskusi mengungkap pertanyaan dari salah satu peserta mengenai kapan lagi kegiatan YSAI dilakukan. Kang Rizki menjawab bahwa untuk situasi pandemi sekarang, kegiatan tidak semasif yang lalu. Namun akan tetap mengupayakan agar terus mampumelahirkan kegiatan yang inovatif sehingga juga dapak berdampak besar dalam pengembangan NGO lainnya.
Selepas sesi diskusi, peserta menuju pabrik pengolahan udang PT. Atina. Di pabrik tersebut, peserta memperoleh penjelasan bagaimana prosedur dari datangnya udang hingga proses pengiriman udang ke Surabaya untuk selanjutnya diekspor. Pemaparan tersebut dipandu oleh Harry Yuli Susanto. Beliau menjelaskan mengenai proses manajemen risiko dan pengendalian mutu yang diterapkan di perusahaan dengan penerapan standar protokol keamanan. Seperti dengan tidak boleh menyentuh udang tanpa menggunakan sarung tangan hingga siapapun yang masuk dalam pabrik harus mengenakan Alat Pelindung Diri (APD) yang telah disediakan.